REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Para peternak layer yang tergabung dalam Pinsar Petelur Nasional (PPN), menegaskan, kenaikan harga telur ayam saat ini bukan karena adanya kelangkaan pasokan. Kenaikan harga disebabkan oleh tingginya biaya produksi yang harus dikeluarkan peternak.
"Harga telur ayam naik bukan karena kelangkaan tapi karena harga pakan yang naik cukup tinggi," kata Ketua PPN, Yudianto Yosgiarso, saat dihubungi Republika.co.id, Jumat (3/6/2022).
Yudianto menjelaskan, gejolak terhadap harga pakan dimulai sejak 2015 saat pemerintah melarang impor jagung untuk mencapai swasembada. Namun sejak saat itu, harga jagung bukan justru melimpah malah menjadi tak terkontrol dan mengalami kenaikan harga.
Harga jagung yang semula sekitar Rp 3.250 per kg naik menjadi sekitar Rp 5.000 per kg. Harga bahkan sempat menyentuh Rp 6.200 per kg pada Juni tahun lalu. Padahal, jagung berkontribusi 50 persen terhadap pakan ternak layer.
Di saat harga pakan melambung tinggi, permintaan terhadap telur anjlok akibat gelombang kedua Covid-19 tahun lalu. Pasalnya, industri hotel, restoran, dan katering tutup.
Yudianto menyebut, penderitaan peternak layer bertambah karena ada perusahaan pembibitan yang menjual telur untuk produksi ayam broiler ke pasar bebas secara ilegal. Padahal, telur-telur itu semestinya dimusnahkan sesuai instruksi pemerintah untuk mencegah terjadinya over suplai pada produksi ayam broiler.
"Jadi kami biaya pakan sudah melambung tinggi, over suplai, lalu perusahaan curang mengeluarkan telur breeding yang harusnya dimusnahkan. Ini memperburuk situasi," kata dia.
Pada awal tahun ini, harga pakan terus mengalami kenaikan hingga tembus Rp 7.800 per kg. Akibat tekanan itu, banyak peternakan layer yang gulung tikar. Situasi itu mengakibatkan populasi berkurang antara 20-25 persen. Meski demikian produksi telur ayam domestik masih bisa memenuhi kebutuhan domestik.
Yudianto mengatakan, PPN sejak lama memperjuangkan agar pemerintah bisa menetapkan biaya produksi ternak unggas sebesar 3,5 kali harga pakan. Dengan kata lain, biaya produksi telur saat ini di atas Rp 23 ribu per kg. Harga itu sudah lebih dari acuan pemerintah yang ditetapkan sebesar Rp 19 ribu-Rp 21 ribu per kg.
Melihat harga riil yang sudah lebih tinggi dari acuan, Yudianto juga meminta agar nantinya penghitungan inflasi komoditas pangan tidak menjadikan acuan harga pemerintah sebagai pembanding karena sudah tak relevan.