REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Pakar ekonomi syariah Universitas Airlangga (Unair), Bayu Arie Fianto menjelaskan, pada dasarnya cryptocurrency merupakan mata uang digital yang memiliki enkripsi (kode rahasia) dan bersifat desentralisasi. Maka dari itu, semua transaksi yang dilakukan akan tercatat rapi dan terpusat melalui teknologi blockchain.
Sebagai sistem ekonomi yang mulai dilirik masyarakat, lanjut Bayu, ekonomi Islam berusaha untuk mengamati dan mencermati teknologi tersebut. Legalitas cryptocurrency sebagai alat pembayaran maupun instrumen investasi masih dipertanyakan.
Hal itu pula yang menjadi catatan tersendiri ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI) menempelkan hukum haram kepada cryptocurrency baik penggunaannya sebagai mata uang maupun aset digital.
“Unsur spekulasinya sangat tinggi, sehingga bisa mengakibatkan adanya kerugian ketika kita berinvestasi di situ (Cryptocurrency)” kata Bayu, Kamis (5/5/2022).
Selain itu, kata dia, instrumen investasi harus dipastikan memiliki underlying asset atau aset dasar sebuah investasi. Menurutnya, fungsi uang bukanlah alat spekulasi, melainkan sebagai alat tukar, alat penyimpan kekayaan, dan untuk mengukur kekayaan.
Bayu pun menuturkan, ekonomi Islam bukanlah sistem ekonomi yang kaku sehingga tidak relevan dengan perkembangan zaman. Baginya, perkembangan zaman tetaplah harus diikuti, namun tetap mengedepankan syariat yang berlaku.
Ekonomi Islam pun berusaha melindungi harta masyarakat dengan tidak memperbolehkan unsur ketidakpastian dalam investasi.
“Kasus-kasus affiliator yang baru ini, nah, itukan juga (terdapat) unsur penipuan dan penggorengan oleh suatu komoditi tertentu untuk investasi ya,” ujar alumnus Lincoln University, Selandia Baru tersebut.
Dalam memandang fatwa MUI tentang Cryptocurrency, ia pun berpendapat bahwa fatwa tersebut bertujuan untuk melindungi masyarakat bukan untuk membatasi. Menurutnya, fatwa tersebut bersifat fleksibel dan dapat berubah di lain waktu ketika dirasa sudah sesuai dengan syariah.
“Fatwa tersebut bisa benar, bisa salah. Namun kalau misalnya ulama sudah berfatwa, itu salah pun mendapat nilai satu dan kalau benar dapat nilai dua,” kata dia.