REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank sentral AS, Federal Reserve (the Fed), mengumumkan pada Rabu (4/5) menaikkan suku bunga acuan 50 basis poin atau sebesar 0,5 persen sebagai upaya mengendalikan tingginya inflasi. Kenaikan ini merupakan yang tertinggi sejak 22 tahun terakhir.
The Fed menaikkan suku bunga ke kisaran target 0,75 persen dan 1 persen di masa mendatang. Pada pertemuan selanjutnya di bulan Juni dan Juli, pembuat kebijakan the Fed siap untuk menaikkan kembali suku bunga hingga 50 poin.
Ketua the Fed, Jerome Powell mengakui, kenaikan suku bunga ini akan menimbulkan ketidakpuasan dari masyarakat. Kebijakan ini memaksa warga Amerika membayar lebih banyak untuk hipotek rumah, pinjaman mobil hingga berpotensi mengurangi aset.
"Kebijakan ini sangat tidak menyenangkan. Kami memahami rasa sakit yang dialami masyarakat," kata Jerome dilansir Reuters, (5/5).
Meski demikian, Powell menegaskan, inflasi yang tinggi juga membutuhkan respons yang kuat dari the Fed. Sebabnya, menurut Powell, lonjakan inflasi yang tidak terkendali dalam setahun terakhir berpotensi membawa ekonomi AS masuk dalam resesi.
The Fed juga mengatakan akan mengurangi simpanan aset sekitar 9 triliun dolar AS mulai bulan depan. Pengurangan aset ini juga sebagai upaya untuk memerangi dampak ekonomi akibat pandemi Covid-19. Kebijakan ini cara lain untuk mengendalikan inflasi.
Powell dan rekan-rekannya di the Fed bertekad untuk memulihkan stabilitas harga meskipun langkah tersebut mengarah pada investasi bisnis dan pengeluaran rumah tangga yang lebih rendah dan pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat. Menurutnya, implikasi dari inflasi yang tidak terkendali lebih buruk.
Namun, Powell menilai ekonomi AS berkinerja baik dan cukup kuat untuk menahan kenaikan suku bunga yang akan datang. Meskipun terjadi penurunan produk domestik bruto (PDB) selama tiga bulan pertama tahun ini, pengeluaran rumah tangga, investasi bisnis serta peningkatan lapangan kerja tetap kuat.