Ahad 01 May 2022 13:56 WIB

Larangan Ekspor CPO, Indonesia Kehilangan Devisa Rp 43 Triliun per Bulan

Di sisi lain, larangan ekspor CPO akan menurunkan harga minyak goreng dalam negeri.

Rep: Silvy Dian Setiawan / Red: Friska Yolandha
Warga membeli minyak goreng curah saat operasi pasar minyak goreng curah di Balai Desa Tumpangkrasak, Kudus, Jawa Tengah, Selasa (26/4/2022). Indonesia akan kehilangan devisa melalui pelarangan ekspor minyak CPO pada kisaran Rp 43 triliun.
Foto: ANTARA/Yusuf Nugroho
Warga membeli minyak goreng curah saat operasi pasar minyak goreng curah di Balai Desa Tumpangkrasak, Kudus, Jawa Tengah, Selasa (26/4/2022). Indonesia akan kehilangan devisa melalui pelarangan ekspor minyak CPO pada kisaran Rp 43 triliun.

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Larangan ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng ke luar negeri yang ditetapkan pemerintah berdampak pada kondisi keuangan dalam negeri. Hal ini disampaikan pakar ekonomi dari Universitas Widya Mataram (UWM), Antonius Satria Hadi, yang mana menurutnya keputusan tersebut juga mengacaukan pasokan minyak di pasar dunia.

Menurut Satria, Indonesia dapat kehilangan devisa sebesar Rp 43 triliun per bulan. Sedangkan, sejumlah negara yang kekurangan pasokan minyak menyebabkan kenaikan harga pada sejumlah kebutuhan dunia dan akhirnya akan berdampak pada inflasi global.

Baca Juga

"Indonesia akan kehilangan devisa melalui pelarangan ekspor minyak CPO pada kisaran Rp 43 triliun, jika selama satu bulan penuh tidak ada kegiatan ekspor," kata Satria yang juga dosen Fakultas Ekonomi UWM tersebut dalam keterangan resminya.

Keputusan pelarangan ekspor minyak tersebut diperkirakan akan membuat harga minyak dalam negeri segera turun menuju normal. Kondisi tersebut dinilai dapat mengurangi laju inflasi yang tengah meningkat saat ini.

"Seperti hasil studi sensitivitas oleh BRI Danareksa Sekuritas menunjukkan, setiap penurunan satu persen harga minyak goreng akan menyebabkan penurunan inflasi sebesar 0,15 persen," ujarnya.

Meskipun begitu, larangan ekspor minyak menimbulkan dilema. Tidak hanya dalam negeri, namun juga di negara-negara lainnya.

Jika penghentian ekspor minyak tersebut dilakukan dalam waktu lama, pasar minyak goreng dalam negeri diprediksi akan oversupply. Sebab, kata Satria, Indonesia hanya menggunakan 10 persen dari total produksi tiap bulannya berdasarkan data BPS.

"Sehingga, jika tidak diekspor maka akan muncul masalah baru dimana ketersediaan minyak goreng menjadi sangat melimpah," tambah Satria.

Selain itu, pelarangan ekspor minyak goreng ini juga akan menimbulkan masalah bagi petani sawit dan pengusaha yakni terkait penyimpanan. Selama ini, katanya, petani sawit dan pengusaha CPO tidak memiliki alat penyimpanan hasil produksi minyak mentah yang memungkinkan minyak bisa bertahan dalam jangka waktu lama.

Pada tataran global, pelarangan ekspor itu juga akan berdampak pada sejumlah negara. Satria juga memprediksi sejumlah negara yang mendapat pasokan minyak dari Indonesia akan melakukan protes, seperti India, China dan Pakistan.

"Tanpa pasokan minyak dari Indonesia, mereka berkurang stok minyak di pasar dan situasi ini bisa mendorong mereka menaikan harga minyak di negara mereka dan naiknya harga kebutuhan lain," jelas Satria.

Satria juga menyinggung terkait kemampuan Malaysia yang menambah ekspor minyak ke negara-negara di dunia. Menurutnya, negara tersebut tidak mampu mengisi slot kosong yang ditinggalkan Indonesia.

"Ditambah lagi dengan konflik antara Rusia dan Ukraina, pasokan minyak mereka ke negara lain terhambat. Situasi terakhir ini memicu inflasi pada level global," katanya.

Untuk itu, Satria meminta agar pemerintah mengkaji ulang keputusan pelarangan ekspor minyak tersebut. Hal ini mengingat lebih banyaknya dampak yang akan ditimbulkan dari keputusan tersebut.

"Dengan dampak yang begitu luas ini, ada baiknya pemerintah mengkaji kembali kebijakan pelarangan ekspor demi kepentingan bersama," ujar Satria.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement