Kamis 28 Apr 2022 18:07 WIB

Pemerintah Anggarkan Rp 400 Triliun Khusus Belanja Produk Obat Lokal

Kemenkes mendukung penggunaan obat dari bahan alam.

Rep: Novita Intan/ Red: Nidia Zuraya
Obat-obatan (ilustrasi).
Foto: unitednews.com.pk
Obat-obatan (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah telah menyiapkan anggaran Rp 400 triliun khusus belanja produk lokal melalui e-katalog Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) dan toko daring. Hal ini diharapkan bisa terealisasi maksimal pada akhir 2022.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan mengatakan anggaran tersebut khusus pengadaan produk dalam negeri seluruh sektor, termasuk sektor kesehatan. Selain itu, pemerintah menggencarkan aksi afirmasi Peningkatan Pembelian dan Pemanfaatan Produk Dalam Negeri (P3DN) dalam rangka Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia (BBI), salah satunya melalui kegiatan Business Matching. 

Baca Juga

"Business Matching tahap I di Bali terjadi komitmen belanja produk dalam negeri Rp 214 triliun. Sedangkan tahap II sudah terjadi business matching Rp 539 triliun. Yang paling penting saya pikir bukan hanya sebut angka ini, tapi kita bisa mengeksekusi,” ujarnya, Kamis (28/4/2022).

Menko Luhut melanjutkan pemerintah mendorong masyarakat dapat berkreasi menciptakan sesuatu yang memenuhi kebutuhan dalam negeri, terutama inovasi-inovasi bidang kesehatan di tengah pandemi Covid-19. OMAI Fitofarmaka yang berasal dari alam Indonesia ini merupakan cerminan dari inovasi yang dijalankan industri farmasi nasional untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Sementara itu Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), Abdullah Azwar Anas menambahkan progres capaian jumlah produk dalam e-katalog pada April 2022 mencapai jumlah 259.828 produk dari target 200 ribu produk pada 31 Maret 2022. Pihaknya telah menyederhanakan regulasi terkait masuknya produk ke dalam e-katalog dari yang tadinya delapan sampai sembilan tahap menjadi dua tahap.

“Begitu pula dengan kepala daerah, sekarang e-Katalog lokal telah diberikan kewenangan dikelola oleh kepala daerah. Ini pun juga sama, dari sembilan proses (pencantuman barang dan jasa) sekarang tinggal dua proses,” ucapnya. 

Dengan kemudahan ini, Luhut berharap pemerintah daerah dapat meningkatkan belanjanya produk dalam negeri.

Sementara itu Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menargetkan belanja pengadaan barang dan jasa khusus di bidang kesehatan sebesar 78 persen dari dalam negeri. ''Presiden memberi target 40 persen tapi kami minta kalau bisa ditingkatkan dari Rp11 triliun menjadi Rp28 triliun. Jadi bukan 40 persen tapi 78 persen kita inginkan itu pembeliannya bisa di dalam negeri,'' ucapnya.

Adapun langkah yang diambil Kementerian Kesehatan untuk memastikan berjalannya komitmen tersebut yakni dengan membuat transparansi, membuat e-katalog sektoral untuk produk obat dan alat kesehatan dalam negeri, serta melakukan pengawasan di lapangan.

Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kemenkes Lucia Rizka Andalusia menambahkan, pihaknya telah menerapkan prinsip tingkat komponen dalam negeri (TKDN). Jika sudah ada produk yang diproduksi dalam negeri maka tak akan dilakukan impor untuk jenis produk tersebut dan dapat digunakan dalam pelayanan kesehatan formal. 

"Dengan e-katalog sektoral tersebut kita sudah menerapkan penerapan perhitungan TKDN dan juga melakukan freeze terhadap produk-produk impor yang produknya sudah dapat diproduksi dalam negeri, baik itu untuk obat maupun alkes, jadi untuk vaksin pun nanti akan berlaku seperti itu," imbuhnya.

Dengan masuknya fitofarmaka dalam pelayanan kesehatan formal termasuk di Jaminan Kesehatan Nasional, maka akan memicu industri dan para peneliti untuk terus mengembangkan fitofarmaka. Menurut Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Suplemen Kesehatan dan Kosmetik BPOM, Dra. Reri Indriani, Apt., M.Si saat ini baru terdapat 25 fitofarmaka yang terdaftar di Badan POM. 

"Kami sangat menghargai lembaga peneliti dan pelaku usaha berbasis riset untuk mengembangkan OMAI. Sampai sejauh ini masih baru ada 25 fitofarmaka dan hanya 13 kelas terapi. Tentunya masih ada peluang besar di mana kebutuhan di hilir seharusnya dapat ditangkap di hulu mulai bahan bakunya, tanaman obat dan lainnya,” kata Reri.

Guru Besar Fakultas Farmasi Universitas Indonesia Abdul Munim menilai pengembangan OMAI Fitofarmaka di Indonesia mendapat dukungan dari pemerintah bahkan menjadi target kinerja beberapa Kementerian/Lembaga seperti Kementerian Kesehatan, Kementerian Pertanian, BPOM dan BRIN. Namun, kendala yang dihadapi industri adalah terkait biaya serta penyerapan produk di pasar.

“Fitofarmaka, kendala yang sering dihadapi adalah biaya inovasi untuk pengembangan fitofarmaka. Di situ juga ada peran pihak universitas, dilihat idenya dari berbagai pihak, dan inovasi ini memerlukan modal yang sangat besar dan proses pengujiannya panjang,” ucapnya.

Hal senada disampaikan Ketua Umum Slamet Sudi Santoso, menambahkan penyerapan obat-obat tradisional khususnya di dunia kedokteran menjadi masalah tersendiri untuk perkembangan OMAI di tanah air.

“Suatu produk farmasi di dalam proses pembuatan obat tradisional menjadi fitofarmaka itu tidak murah, tetapi kalau penggunanya yang meresepkan tidak ada, lama-lama perusahaan farmasi bisa tutup. Kalau dokter tidak mau paham pemakaian obat ini akan susah, padahal penelitian dan pengembangan produk ini cukup mahal agar dapat menjadi lebih aman dan efikasinya baik,” ujarnya.

Tersusunnya Formularium Fitofarmaka merupakan komitmen pemerintah melalui Kementerian Kesehatan dalam mewujudkan ketahanan dan kemandirian kesehatan nasional di bidang farmasi. Sebelumnya Kemenkes melalui Dirjen Pelayanan Kesehatan juga pernah mengeluarkan edaran kepada masyarakat untuk menggunakan obat herbal dalam menghadapi pandemi Covid-19. Kemenkes juga mendukung penggunaan obat dari bahan alam dengan menyediakan bahan baku melalui Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional.

Selain Kemenkes, Badan POM juga turut berperan aktif dalam melakukan pendampingan uji klinis sehingga obat dari bahan alam bisa mendapatkan sertifikasi Fitofarmaka. Komitmen pemerintah ini juga diperkuat dengan Peraturan Menteri Perindustrian No 16 Tahun 2020 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penghitungan Nilai Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) Produk Farmasi, dengan demikian OMAI Fitofarmaka yang memiliki nilai TKDN tinggi rata-rata angka 70 persen sampai 90 persen wajib menjadi prioritas dalam pengadaan oleh pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement