REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) meminta pemerintah untuk menumbuhkan industri-industri minyak goreng baru skala UMKM dengan memberikan insentif usaha. Hal itu agar iklim persaingan usaha dalam industri minyak goreng semakin sehat dan tidak dikuasai oleh segelintir kelompok usaha.
Ketua KPPU, Ukay Karyadi, mengatakan, dari hasil kajian KPPU, setidaknya dibutuhkan pabrik-pabrik minyak goreng di wilayah yang dekat dengan area perkebunan kelapa sawit. Termasuk di wilayah yang tidak terdapat produsen minyak goreng.
"Pabrik-pabrik terbanyak di Jawa terutama Jawa Timur. Sementara sentra perkebunan sawit ada di Riau tapi tidak ada industri minyak goreng. Jadi kami dorong agar daerah-daerah sentra kebun sawit itu ada pabrik minyak goreng skala UMKM," kata Ukay dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VI DPR, Kamis (31/3/2022).
Adapun, langkah selanjutnya, pemerintah perlu mendorong perusahaan perkebunan sawit dan pabrikan minyak goreng yang terintegrasi agar bisa mengalokasikan pasokan minyak sawit untuk keperluan UMKM tersebut.
"Sebab, produsen minyak goreng yang menguasai 70 persen pasar itu ada delapan perusahaan dan itu semua terintegrasi dengan kebun sawit," kata Ukay.
Menurutnya, hal itu sangat perlu karena sekaligus menjamin kepastian usaha industri-industri minyak goreng yang baru dalam mendapatkan bahan baku minyak sawit. "Ini saran pertimbangan kami ke pemerintah untuk jangka menengah panjang," kata Ukay.
Sementara itu, dalam kesempatan berbeda, Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) menilai, diperlukan strategi khusus dari pemerintah agar dapat menentukan harga minyak sawit khusus untuk pasar dalam negeri. Salah satunya, dengan menambah luasan lahan perkebunan sawit yang dimiliki oleh BUMN, khususnya PT Perkebunan Nusantara (PTPN).
Direktur Eksekutif GIMNI, Sahat Sinaga, mengatakan, jika BUMN yang mendominasi kepemilikan perkebunan sawit, maka pemerintah pun akan lebih memiliki daya tawar dalam menentukan harga. Hal itu tentunya juga berdampak pada harga minyak goreng sebagai salah satu produk turunan yang belakangan mengalami masalah akibat lonjakan harga.
"Saya kira baiknya minyak goreng dimasukkan menjadi salah satu komodias penting. Saya usulkan di forum ini, berikan mereka (PTPN) 2 juta hektare, itu dia akan bisa mendominasi dan menentukan sebagai price leader," kata Sahat.
Sahat mengungkapan pada era 1990-an, kepemilikan kebun sawit PTPN mencapai 68 persen dari total kebun. Namun, saat itu penambahan kepemilikan lahan distop oleh pemerintah dan swasta yang terus berkembang.
Hingga saat ini, Sahat menjelaskan, total kepemilikan lahan milik swasta terus melejit atau sekitar 60 persen dari total luas kebun 16,3 juta hektare."Jadi PTPN harus diperkuat, kalau minimal dia punya 2 juta hektare, dia bisa punya 10 juta ton produksi sawit per tahun. Itu bisa dalam satu komando menentukan harga, bukan swasta," kata Sahat.
Lebih lanjut, Sahat mengungkapkan ketergantungan Indonesia kepada harga internasional meski menjadi produsen terbesar di dunia pun bukan tanpa alasan. Pasalnya, pasar domestik saat ini baru menyerap sekitar 36 persen dari rata-rata produksi sawit setiap tahunnya.
Adapun sisanya dibeli oleh pasar luar negeri sehingga mau tak mau, industri sawit mengikuti harga pasar global. "Saya memimpikan, kalaulah republik ini punya konsep yang jelas tentang awitnya, harus membuat 65 persen produksi kita ada di domestik sehingga kita tidak tergantung ekspor," kata Sahat.
Sebagai informasi, produksi CPO tahun ini diproyeksi mencapai 49 juta ton, sementara untuk kebutuhan domestik hanya berkisar 19 juta ton. Adapun, khusus untuk kebutuhan minyak goreng hanya 4,9 juta ton atau 10 persen dari total CPO yang diproduksi para pelaku industri.