REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kenaikan harga elpiji non subsidi yang signifikan dua bulan terakhir berpotensi membuat masyarakat beralih ke elpiji subsidi. Kondisi ini akan membuat Anggaran Pendapatan dan Belanja (APBN) jebol.
Wakil Ketua Dewan Energi Nasional (DEN) Satya Yudha mengusulkan untuk pemerintah segera merealisasikan skema penyaluran subsidi tertutup untuk elpiji gas melon. Langkah ini dapat menjadi solusi agar APBN tidak jebol ditengah kondisi harga komoditas yang sedang naik.
"Selama ini LPG itu merupakan satu komoditi dengan dua harga. Mestinya, perlu ada perlakuan berbeda antara LPG subsidi dan non subsidi," ujar Satya kepada Republika.co.id, Senin (28/2/2022).
Satya menilai dengan adanya kenaikan harga elpiji non subsidi secara signifikan seperti ini, shifting konsumen tidak bisa dielakan."Maka, pola distribusi penyaluran elpiji subsidi secara tertutup sangat penting untuk menghindari berpindahnya pengguna dari elpiji non subsidi ke elpiji subsidi," ujar Satya.
PT Pertamina (Persero) memutuskan untuk menaikan harga elpiji non subsidi yaitu elpiji 12 kg dan elpiji 5 kg menyusul kenaikan acuan CP Aramco.
Saat ini acuan CP Aramco sudah mencapai 775 dolar AS per metrik ton. Jauh dari kondisi pada 2021 yang berada di level 500 dolar AS per metrik ton.
Kenaikan yang mencapai lebih dari 21 persen ini memaksa Pertamina harus menaikan harga jual elpiji non subsidi. Pertamina membanderol elpiji non subsidi sebesar Rp 15.500 per kilogram (kg).