REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Tahun ini, Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Barat (Jabar) masih terus menjalankan program petani milenial. Menurut Kepala Dinas Perkebunan Jabar, Jafar Ismai, sama seperti 2021, pada 2022 pihaknya akan terus mengembangkan program petani milenial di dinas yang dipimpinnya.
"Pada 2021 kan baru, jadi agak tersendat-sendat. Tapi 2022 ingin lebih banyak targetnya jadi 100 orang bahkan bisa sampai 111 orang," ujar Jafar kepada Republika, Selasa (15/2).
Jafar mengatakan, pada tahun ini, pihaknya masih melaksanakan online belum offline. Tapi, tetap bekerja sama dengan bjb memberikan pembinaan.
Pada 2011, kata dia, program Petani Milenial di lingkungan Dinas Perkebunan yang mengikuti secara online ada 12 orang. Tapi, Petani Milenial yang dibina bjb mencapai 500 orang.
"Mereka dapat kredit untuk komoditas teh dan kopi. Kalau sudah dengan bjb kan ada off taker, petani milenial ini dinilai sudah layak karena diberikan KUR," katanya.
Dinas Perkebunan sendiri, kata Jafar, pada 2021 telah menerima pendaftaran secara online sebanyak 52 orang. Yakni, yang sudah memiliki rintisan usaha sebanyak lima orang, sudah memiliki rintisan usaha secara mandiri sebanyak 12 orang, belum memiliki dan memulai rintisan usaha sebanyak sembilan orang dan 26 orang mengundurkan diri.
Para petani milenial yang mengikuti program ini, kata dia, sudah memperlihatkan perkembangan yang cukup baik. Yakni, terlihat dari meningkatnya volume penjualan.
"Jadi pada program petani milenial ini yang kita sentuh pada pengolahan pascapanen. Kita ada pendaftaran online minatnya ke apa, kita sesuaikan program kita. Karena minatnya ada yang ke komoditas kopi, gula aren dan vanili," katanya.
Jafar mengaku, dalam proses mencetak petani milenial ini tentu pihaknya menemukan kendala. Di antaranya, saat perekrutan awal kurang melibatkan kabupaten/kota. Sehingga pendaftar langsung mendaftar online ke Pemprov Jabar, petani milenial kebanyakan bersifat individu, kurang berlatar belakang pertanian dan kurang mengenal komoditas yang akan dikembangkan.
Selain itu, kata dia, pada umumnya petani milenial belum memiliki lahan atau tempat usaha khusus untuk pengolahan hasil. Sementara, lahan yang menganggur belum dimanfaatkan dengan baik karena terkendala lokasi.
"Karena misalnya petani yang berminat orang Bandung tapi lahannya ada di Karawang jadi susah untuk dikelola karena domisilinya," katanya.
Sementara untuk membantu pemasaran Petani Milenial, kata dia, Dinas Perkebunan menghubungkan langsung dengan offtaker. Bulan ini, ada forum offtaker di dinasnya.
"Kami menggelar forum offtaker agar tahu bagaimana hasil produk petani milenial ini, akan bisa diterima atau tidak. Produk Vanili dari Sumedang sudah kami hubungkan dengan offtaker," katanya.
Hingga saat ini, kata dia, ada lima orang Petani Milenial yang dibantu oleh perbankan yang sudah sukses. Selain itu, ada 12 orang petani milenial mandiri dan tak menggunakan dana perbankan.
"Pendapatan para petani milenial yang sudah berhasil itu bervariasi ada yang 4 juta seperti yang diharapkan bahkan ada yang lebih tapi ada juga yang kurang. Yang kurang, kami bina terus agar bisa punya pendapatab Rp 4 juta," paparnya.