REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gabungan Koperasi Tahu Tempe Indonesia (Gakoptindo) mengeluhkan fluktuasi harga kedelai beberapa waktu terakhir yang membuat usaha produksi tahu dan tempe semakin tertekan. Gakoptindo pun meminta Kementerian Perdagangan (Kemendag) agar dapat menetapkan harga kedelai impor setiap bulan demi meredam fluktuasi harga.
"Harga kedelai impor yang diatur oleh importir pada umumnya naik. Pernah dalam sepekan tujuh hari (harga kedelai) naik lima kali. Tolong harga kedelai dibuat stabil minimal sekali sebulan," kata Ketua Umum Gakoptindo Aip Syarifuddin, dalam konferensi pers virtual, Jumat (11/2/2022).
Aip menuturkan, sebelumnya terdapat sekitar 195 ribu pengrajin tahu tempe skala rumahan di Indonesia. Namun, kini sekitar 20 persen atau 30 ribu pengrajin gulung tikar akibat fluktuasi harga kedelai yang tinggi. Mereka yang berhenti produksi umumnya yang menggunakan kedelai sekitar 10 kg-20 kg per hari.
"Hari ini dia beli 20 kg, lalu dibikin jadi tahu dan tempe, begitu besok dia mau beli lagi 20 kg, penghasilannua itu tidak cukup karena harga kedelai sudah naik," kata Aip.
Pengrajin yang saat ini bisa bertahan yakni yang mereka yang rata-rata menggunakan minimal 100 kg kedelai setiap hari. Solusi yang ditempuh menyikapi kenaikan harga mengurangi ukuran tahu dan tempe agar harga jual tetap dapat dipertahankan stabil.
Aip menuturkan, saat ini harga kedelai yang diterima oleh pengrajin sudah lebih dari Rp 11 ribu per kg. Di luar Jawa, harga bahkan bisa mencapai Rp 12 ribu per kg.
"Harga tahu dan tempe yang diproduksi kalau dengan harga kedelai Rp 11 ribu per kg, lalu kami jual tempe Rp 11.500 per kg, itu hampir tidak ada untung. Habis. Tidak ada cerita upah pekerja karena memang dikerjakan sendiri," kata dia.
Oleh karena itu, Gakoptindo berharap agar ke depan pemerintah setiap bulan bisa menetapkan harga kedelai impor sehingga pergerakan harga tidak berubah setiap hari yang membuat sulit para pengrajin.
Di satu sisi, Gakoptindo mendorong peningkatan produksi lokal kedelai. Pasalnya, kedelai lokal sejatinya sangat cocok digunakan untuk memproduksi tahu. Sementara untuk membuat tempe lebih bagus menggunakan kedelai impor.
Kebutuhan kedelai untuk produksi tahu dan tempe setiap tahun sekitar 3 juta ton. Di mana, sebanyak 1 juta ton untuk tahu dan 2 juta ton untuk tempe. Adapun dari total kebutuhan itu, produksi kedelai lokal baru memenuhi sekitar 10 persen.
"Ini juga sudah direspons oleh Kementerian Pertanian yang akan meningkatkan produksi kedelai minimal menjadi 30 persen (dari kebutuhan nasional)," katanya.