REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk mencatat penyaluran kredit sebesar Rp 582,44 triliun sepanjang 2021. Adapun realisasi ini tubuh 5,3 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Direktur Keuangan BNI Novita Widya Anggraini mengatakan, pendorong utama kredit sepanjang 2021 berasal dari sektor business banking terutama pembiayaan ke segmen korporasi swasta yang tumbuh 7,6 persen menjadi Rp 180,4 triliun. Lalu segmen large commercial tumbuh 10,4 persen menjadi Rp 40,9 triliun, dan segmen kecil tumbuh 12,9 persen menjadi Rp 95,8 triliun.
"Secara keseluruhan kredit sektor business banking tumbuh 4,5 persen menjadi Rp 482,4 triliun," ujar Novita saat konferensi pers virtual, Rabu (26/1/2022)
Novita merinci sektor consumer, kredit terbesar berasal dari kredit payroll tumbuh 18,3 persen menjadi Rp 35,8 triliun, kredit kepemilikan rumah (mortgage) tumbuh 7,7 persen menjadi Rp 49,6 triliun. "Secara keseluruhan kredit consumer tumbuh 10,1 persen menjadi Rp 99 triliun," ucapnya.
Menurutnya, kinerja pendapatan nonbunga juga tergolong semakin kuat pada pencapaian 2021. Tercatat fee base income (FBI) pada akhir 2021 tumbuh 12,8 persen menjadi Rp 13,64 triliun. "FBI 2021 didukung oleh fee consumer dan fee business banking yang masing-masing tumbuh enam persen dan 10,7 persen, sehingga menandai pemulihan yang kuat dibandingkan tahun sebelumnya," kata Novita menjelaskan.
Novita juga menyebut pertumbuhan kredit ditopang oleh dana pihak ketiga (DPK) sebesar Rp 729,17 triliun atau tumbuh 15,5 persen. Posisi DPK tersebut membawa BNI pada situasi likuiditas yang sangat mencukupi dan jauh melampaui pertumbuhan kredit tahun lalu.
"Penghimpunan DPK menguat pada kuartal IV 2021, meskipun suku bunga simpanan terus menurun. Bekal DPK membuat BNI memiliki cadangan likuiditas yang tangguh dan siap digunakan jika permintaan kredit meningkat atau pasar obligasi berubah menjadi lebih baik 2022," ucapnya.
Kemudian dana murah juga masih mendominasi DPK sebesar 69,4 persen dari seluruh DPK. Dana murah tumbuh 17,1 persen menjadi Rp 506,06 triliun. Pertumbuhan dana murah ini mendorong perbaikan cost of fund dari 2,6 persen pada akhir 2020 menjadi 1,6 persen pada 2021.