REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Bank Indonesia mulai mengambil langkah pengetatan likuiditas pada awal tahun ini. Adapun langkah pengetatan likuiditas dilakukan secara bertahap dengan menaikkan giro wajib minimum (GWM) rupiah ke Bank Umum Konvensional (BUK) dan syariah.
Center of Reform on Economics (CORE) menilai, langkah pengetatan ini akan berdampak terhadap industri perbankan. Hal ini dikarenakan perbankan harus menyesuaikan kondisi likuiditas dengan rencana kerja pada tahun ini.
“Pertama tentu penyesuaian diperlukan untuk mencari dana pihak ketiga (DPK) terutama bank yang berada BUKU I sampai III yang likuditasnya tidak selonggar bank yang berada pada kategori BUKU IV,” ujar Ekonom CORE Yusuf Rendy ketika dihubungi Republika, Jumat (21/1/2022).
Menurutnya, penyesuaian kondisi perbankan juga berdampak terhadap penyaluran kredit dan beragam gempuran teknologi finansial (fintech). Hal ini mengingat munculnya bank digital baru yang akan menambah persaingan untuk mendapatkan dana pihak ketiga (DPK).
“Penyesuaian berikutnya, rencana penyaluran kredit pada tahun ini. Tentu untuk menyalurkan kredit ada kriteria yang harus dipenuhi ketika ingin menyalurkan kredit,” ucapnya.
Yusuf menyebut GWM merupakan instrumen kebijakan moneter dari Bank Indonesia. Adapun instrumen ini beriringan dengan instrumen moneter yang lain seperti misalnya suku bunga acuan.
“Menarik kembali likuditas dari masyarakat merupakan salah satu bagian dari Bank Sentral (BI) untuk menjalankan kebijakan pengetatan moneter secara bertahap. Saya kira setelah ini dilakukan kebijakan menaikan GWM, BI akan secara bertahap pula akan mulai menaikan suku bunga acuan,” ucapnya.
“Namun, saya kira hal ini paling cepat dilakukan semester ke II tahun ini melihat perkembangan dari pemulihan ekonomi yang terjadi nanti. Tapering the Fed saya kira sudah dilakukan secara bertahap dan dampak ke Indonesia sejauh ini belum terlalu signifikan,” ucapnya.