REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Undang-undang bipartisan yang diperkenalkan di Senat Amerika Serikat (AS) pada Jumat (14/1/2022) akan hjmemaksa kontraktor pertahanan untuk berhenti membeli logam tanah jarang (rare earth) China pada 2026. Rencana Undang-undang (RUU) tersebut juga akan memaksa menggunakan Pentagon untuk membuat persediaan mineral permanen secara strategis.
RUU yang disponsori oleh seorang Republikan Arkansas yakni senator Tom Cotton dan seorang Republikan Arkansas Mark Kelly, seorang Demokrat Arizona merupakan yang terbaru dari serangkaian undang-undang AS yang berusaha untuk menggagalkan kendali dekat China di sektor tersebut. RUU tersebut pada dasarnya untuk menggunakan pembelian jet tempur, rudal, dan senjata lain senilai miliaran dolar AS oleh Pentagon untuk meminta kontraktor berhenti bergantung pada China.
Rare earth tersebut merupakan sejumlah 17 logam setelah diproses dapat digunakan untuk membuat chip magnet yang ditemukan di kendaraan listrik, persenjataan, dan elektronik. Sementara Amerika Serikat menciptakan industri dalam Perang Dunia II dan ilmuwan militer AS mengembangkan jenis magnet dari logam rare earth yang paling banyak digunakan. Sementara China perlahan-lahan tumbuh untuk mengendalikan seluruh sektor tersebut selama 30 tahun terakhir.
AS hanya memiliki satu tambang rare earth dan tidak memiliki kemampuan untuk memproses mineral tanah tersebut. "Mengakhiri ketergantungan Amerika pada China untuk ekstraksi dan pemrosesan tanah langka sangat penting untuk membangun sektor pertahanan dan teknologi AS," kata Cotton kepada Reuters, Sabtu (15/1/2022).
Senator yang duduk di komite angkatan bersenjata dan intelijen senat menggambarkan evolusi China menjadi pemimpin tanah langka global hanya pilihan kebijakan yang dibuat Amerika Serikat. Senator kebijakan baru akan melonggarkan cengkeraman Beijing.
RUU tersebut akan mengkodifikasi dan membuat penimbunan bahan-bahan yang sedang berlangsung di Pentagon menjadi permanen. Di sisi lain, China sementara ini memblokir ekspor tanah langka ke Jepang sejak 2010 dan telah mengeluarkan ancaman dapat melakukan hal yang sama kepada Amerika Serikat.
Cotton mengatakan telah berbicara dengan berbagai lembaga eksekutif AS tentang RUU tersebut. Meskipun begitu, Cotton menolak untuk mengkonfirmasi apakah sudah berbicara dengan Presiden Joe Biden atau Gedung Putih.
"Ini adalah area di mana Kongres akan memimpin, karena banyak anggota yang prihatin dengan topik ini, terlepas dari partainya," tutur Cotton.