Jumat 24 Dec 2021 13:23 WIB

OKU Timur Tingkatkan Produksi dan Konsumsi Beras Organik

Dengan biaya produksi yang lebih rendah, tapi harga beras organik lebih tinggi.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Agus Yulianto
Panen perdana padi organik. Selain menghemat biaya produksi, harga beras organik pun lebih mahal daripada beras pada umumnya.
Foto: Kemenpora.go.id
Panen perdana padi organik. Selain menghemat biaya produksi, harga beras organik pun lebih mahal daripada beras pada umumnya.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur, Sumatera Selatan, terus meningkatkan produksi dan kampanye penggunaan beras organik untuk konsumsi harian. Pasalnya, beras organik lebih meringankan beban biaya produksi sekaligus ramah lingkungan.

Kepala Bidang Tanaman Pangan, Dinas Pertahanan Pangan, OKU Timur, Andri, menuturkan, saat ini, ada lima kelompok petani yang sudah mengembangkan beras organik dengan total luasan sawah organik mencapai 33 hektare. Seluruhnya telah tersertifikasi oleh Inofice sehingga beras organik yang dihasilkan resmi diakui.

Adapun tingkat produksi beras organik di OKU Timur dalam satu musim panen sekitar 90 ton. "Dalam setahun bisa dua kali panen berarti produksi bisa 180 ton per tahun," kata Andri kepada Republika.co.id, beberapa waktu lalu.

Dia menuturkan, dari sisi ekonomi petani akan sangat menghemat biaya operasional karena tidak membutuhkan pupuk kimia. Apalagi, pupuk bersubsidi yang alokasi setiap tahunnya di bawah dari kebutuhan petani.

 

photo
Pemred Republika Irfan Junaedi menyerahkan cindera mata kepada Wakil Ketua DPRD OKU Timur Rio Susanto. - (Istimewa)

 

Dengan biaya produksi yang lebih rendah, harga beras organik lebih tinggi dari beras pada umumnya. Di OKU Timur, beras organik dihargai rata-rata Rp 15 ribu per kilogram.

Sementara dari sisi lingkungan, kesuburan lahan sawah dapat terjaga kelestariannya karena pupuk yang digunakan dalam budidaya organik seluruhnya alami tanpa bahan kimia. Itu akan menjaga ekosistem sekitar sehingga pertanian yang dijalankan berkelanjutan.

Hanya saja, Andri menyampaikan, ada tantangan yang harus dihadapi untuk beralih ke pertanian organik. Dia menuturkan, setidak dalam dua hingga tiga kali musim pertama, tingkat produksi gabah yang dihasilkan cukup rendah yakni di bawah 5 ton per ha.

"Ini kendalanya karena produksinya tidak bisa langsung tinggi seperti beras non organik," kata Andri.

Namun, dia mengatakan, jika petani konsisten tingkat produktivitas akan terus meningkat. Saat ini, para petani yang terus membudidayakan beras organik telah mencapai angka produktivitas gabah kering panen (GKP) sebesar 6 ton per hektare atau setara 3 ton beras siap konsumsi.

Kendala lain yang dihadapi mengenai rendahnya pemahaman masyarakat dan petani terkait keunggulan beras organik. Itu juga mengakibatkan sulitnya pemasaran beras organik yang membuat petani cenderung membatasi produksi beras organik

"Memang rata-rata konsumsi beras organi masyarakat OKU Timur masih rendah, karena itu pemasaran juga kita lakukan ke luar wilayah seperti Jakarta, Bogor, Palembang, Padang, dan Surabaya. Penjualan harus keluar karena petani tidak mampu menghabiskan produksinya untuk pemasaran dalam kota," katanya.

Karena itu, Pemkab OKU Timur mulai tahun depan akan lebih masif dalam mengkampanyekan pentingnya konsumsi beras organik. Kampanye itu dilakukan dalam setiap kesempatan agenda atau perhelatan akbar di OKU Timur agar masyarakat semakin mengenal beras organik.

Di satu sisi, perluasan lahan untuk budidaya padi organik dipastikan terus dilanjutkan disertai pendampingan petani dalam membuat kemasan beras organik yang menarik. Kerja sama dengan BUMN dan BUMDes serta koperasi-koperasi juga masih dilakukan untuk dapat membantu penjualan beras organik.

"Intinya, kita harus buktikan dulu, petani bisa sejahtera dari beras organik dan produksi beras organik mampu mendekati beras konvensional dengan begitu minat terhadap budidaya organik akan terus bertambah," katanya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement