Selasa 14 Dec 2021 09:03 WIB

Ketika Menkeu Sri Mulyani Bicara Utang: Yes, There Are Some Choices?

Sri Mulyani tak punya gagasan selain mencetak utang baru

Utang negara-negara berpendapatan menengah.
Foto: Tim Infografis Republika.co.id
Utang negara-negara berpendapatan menengah.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: DR Fuad Bawazier, Mantan Menteri Keuangan dan Pengamat Ekonomi.

Dalam sebuah wawancara di kanal YouTube Gita Wiryawan yang diunggah 10 Desember 2021, Menkeu Sri Mulyani Indrawati (SMI) mengatakan bahwa melonjaknya utang negara,— per 30 September 2021 sudah mencapai Rp6.711,5Triliun,— karena Pemerintah tidak punya pilihan selain menambah utang. Pemerintah harus berutang demi penyelamatan ekonomi di tengah serangan Pandemi Covid-19, kata Menkeu Sri Mulyani. 

Meski secara pribadi saya tidak kaget, tetap saja banyak ekonom yang kaget dengan pernyataan SMI itu. Saya tidak kaget karena sudah lama SMI tidak punya gagasan selain mencetak utang baru. Beliau bangga dengan “temuannya” memperkenalkan Indonesia dengan Surat Utang Indonesia (SUN) atau SBN itu, sehingga sudah ketagihan utang dan terbelenggu utang. Pandemi Covid- 19 hanya kambing hitam saja sebab sebelum Pandemi, SMI memang sudah penggemar utang dan menjadikan utang Indonesia lampu kuning kemerah-merahan. 

Banyak pihak mengingatkan SMI bahwa utang negara menjurus kegagal bayar. Utang itu tidak tabu tapi harus mengukur kemampuan bayarnya. Itulah sebabnya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memperingatkan Pemerintah akan bahaya utang dan gagal bayar. 

Menurut BPK, kenaikan utang telah melampaui kenaikan PDB maupun penerimaan pajak. Situasi ini sebenarnya sudah berlangsung lama dengan tidak ada tanda tanda membaik. 

Presiden Jokowi mengawali pemerintahannya dengan saldo utang negara Rp2.608Triliun atau 24,7% PDB. Tujuh tahun kemudian, atau akhir September 2021, saldo utang negara Rp6.711,5Triliun atau 41,38% PDB. Artinya telah terjadi kenaikan bersih utang Rp4.103,5Triliun selama 7 tahun atau kenaikan sebesar Rp1,6Triliun perhari termasuk Sabtu, Minggu dan hari libur. Rumah tangga sekalipun akan ambruk bila anggarannya lebih besar pasak dari tiangnya untuk jangka panjang. 

Secara halus Bank Dunia dan IMF juga acapkali memberikan warningnya lantaran dari berbagai ukuran atau standar utang, Pemerintah memang sudah melampaui batas aman, antara lain International Debt Relief (IDR). 

Sementara Pemerintah selalu berlindung pada argumentasi bahwa utang negara masih aman terkendali sebab masih dibawah 60% PDB sebagaimana batas maksimal yang diatur dalam UU Keuangan Negara.

Sayangnya narasi standar Pemerintah selalu “utang masih aman dan terkendali” tanpa mampu menjelaskan maksudnya, artinya. Kapan mau lunas, bagaimana melunasinya, dari mana sumbernya, tidak ada penjelasannya, tidak ada skemanya. Narasi kosong belaka. Tapi begitulah narasinya selama bertahun tahun, bernada orasi propaganda yang tidak “nyambung” dengan kenyataannya bahkan bertolak belakang. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement