REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Presiden Joko Widodo menargetkan penerimaan cukai sebesar Rp 203,92 triliun pada 2020. Adapun rencana ini tidak terlepas dari peningkatan kepercayaan masyarakat yang diperkirakan berangsung pulih seiring terkendalinya kasus Covid-19.
“Maka penerimaan cukai pada RAPBN tahun anggaran 2022 diperkirakan sebesar Rp 203.920,0 miliar atau tumbuh 11,9 persen dibandingkan outlook tahun 2021,” ujarnya seperti dikutip dari buku nota keuangan 2022, Senin (16/8).
Menurutnya pada tahun depan pemerintah berencana menaikkan cukai rokok. Hal ini memperhatikan kebijakan intensifikasi dan ekstensifikasi cukai terutama melalui pemberlakuan pengenaan cukai produk plastik, serta eskalasi kebijakan tarif cukai hasil tembakau dengan tetap mempertimbangkan empat pilar yaitu pengendalian, penerimaan, tenaga kerja, dan dampak ke rokok ilegal.
Dalam buku nota keuangan 2022 juga dijelaskan penerimaan cukai mengalami pertumbuhan rata-rata 6,1 persen pada periode 2017 sampai 2019. Adapun peningkatan capaian itu terutama didorong oleh peningkatan penerimaan cukai hasil tembakau melalui kebijakan kenaikan tarif cukai dan program penertiban cukai berisiko tinggi (PCBT) melalui pemberantasan rokok ilegal.
Menyikapi hal itu, Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LBM PBNU), Sarmidi Husna berpendapat, kenaikan cukai tiap tahun yang dilakukan oleh pemerintah kerapkali menuai protes dari sejumlah kalangan, termasuk petani tembakau. Hal ini disebabkan kenaikan tarif cukai itu tidak hanya berdampak pada perusahaan industri hasil tembakau (IHT) nasional tetapi juga berdampak pada petani tembakau karena serapan tembakau menjadi berkurang.
"Kenaikan tarif cukai pada kurun waktu 2015 - 2020 terjadi penurunan produksi rokok dari 348,1 miliar batang menjadi 322 miliar batang atau turun 7,47 persen. Akibat penurunan produksi rokok, keterserapan tembakau petani menjadi terpengaruh," ucapnya.
Selain itu, lanjut Sarmidi Husna, kebijakan kenaikan tarif cukai bukan hanya tidak berpihak bagi petani tembakau, bahkan menzalimi mereka, karena nasib petani tembakau selama 10 tahun terakhir kurang diperhatikan oleh pemerintah malah terkena dampak kenaikan tarif cukai.
"Selain itu, banyak tenaga kerja yang terlibat dalam IHT mulai dari hulu ke hilir sekitar 6,2 juta mayoritas Nahdliyin (warga NU)," tegasnya.
Menurutnya saat ini masing-masing Kementerian/Lembaga memiliki roadmap sendiri dengan tujuan yang belum selaras. Dia mencontohkan Kementerian Keuangan ingin menaikkan penerimaan, Kementerian Kesehatan ingin menurunkan prevalensi, Kementerian Pertanian dengan kebijakan ekspor-impornya, Kementerian Ketenagakerjaan dengan penyerapan tenaga kerjanya, Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian dengan tugasnya masing-masing dalam melindungi keberlanjutan IHT.
"Ke depannya perlu perumusan sebuah roadmap dengan melibatkan seluruh stakeholders terkait dengan mempertimbangkan empat hal tersebut yang meliputi penerimaan, pengendalian konsumsi, tenaga kerja, dan keberlanjutan Industri Hasil Tembakau (IHT) nasional," ucapnya.