REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat (Pinsar) berharap pemerintah dapat meninjau ulang rencana kebijakan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas sembako, termasuk produk ayam hingga pakan ternak. Sebab, kebijakan tersebut sangat berpotensi menyebabkan kenaikan bahan baku yang diolah industri perunggasan dan berdampak pada kenaikan harga ayam dan telur.
“Walaupun PPN nanti dikenakan kepada bahan baku pakan, misalnya, itu akan membuat biaya produksi untuk menghasikan ayam dan petelur akan lebih mahal dan membuat masyarakat makin sulit memperoleh harga protein hewani yang lebih murah,” kata Ketua Umum Pinsar, Singgih Januratmoko dalam webinar dikutip Republika.co.id, Jumat (2/7).
Merujuk Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) dari Badan Pusat Statistik, tingkat konsumsi daging ayam ras secara nasional sebesar 12,79 kilogram (kg) per kapita per tahun. Angka tesebut timpang dengan konsumsi daging ayam ras masyarakat Malaysia yang sudah melebihi 40 kg per kapita per tahun.
Singgih menambahkan, ketimpangan konsumsi daging ayam ras semakin lebar akibat menurunnya daya beli masyarakat imbas Covid-19. Itu tercemin dari penurunan produksi ayam ras per minggu yang biasanya mampu mencapai 70 juta ekor per minggu menjadi hanya 45 juta ekor per pekan.
Pihaknya pun mendorong para pemangku kepentingan sektor perunggasan melakukan konsolidasi. Diaku,i Kementerian Keuangan membuka lebar melakukan diskusi mengenai kebijakan PPN tersebut. Namun, jika melihat pengalaman ketika RUU KUP ketika telah disahkan menjadi undang-undang secara substansial akan sulit untuk berubah.
"Memang draftnya belum kita lihat. Tapi kita akan meminta melakukan audiensi publik dengan sejumlah komisi terkait di DPR yang notabene beberapa juga menjadi Badan Legislatif (Baleg) yang membahas RUU KUP," ujarnya.
Sementara itu, Ketua Umum Gabungan Perusahaan Makanan Ternak (GPMT) Desianto menuturkan, pemerintah perlu berhati-hati mengenakan PPN pada sembako karena akan berdampak luas.
"Pemerintah harus mengkaji terlebih dahulu bersama stakeholder perunggasan yaitu pelaku usaha, asosiasi, peternak dan akademisi," kata Desianto.
Ia mengakui, industri pakan masih melakukan impor bahan baku untuk pakan ternak dan di antaranya sudah dikenakan PPN. Menurutnya, dari sisi volume kontribusi tidaklah melebihi 35 persen dalam formula bahan baku. Namun secara nominal, berkontribusi hingga 65 persen.
Ia menjelaskan, akan terdapat ancaman dampak berantai terhadap kenaikan harga pakan seperti pada harga daging ayam. Menurutnya, rata-rata Feed Conversion Ratio (FCR) ayam broiler sebesar 1,7 maka setiap kenaikan 1 persen pakan (feed) akan berdampak pada kenaikan harga livebird sebesar 1,7 persen. Itu akan berpengaruh terhadap kenaikan harga karkas sebesar 3 persen.
"Jika dikenakan tarif PPN 10 persen akan terjadi kenaikan harga livebird adalah 17 persen dan kenaikan harga karkas sebesar 25 persen," ujar dia.
Sementara untuk harga telur, rata-rata FCR telur sebesar 2,3 maka setiap kenaikan feed sebesar 1 persen akan berpengaruh kenaikan harga telur sebesar 2,3 persen.
Apabila dikenakan tarif PPN 10 persen akan terjadi kenaikan harga telur hingga 23 persen. Bila dihitung dengan FCR telur (masa pullet) FCR 2,6 maka kenaikan harga telur adalah 26 persen.
"Bila perlu dari hulu sampai hilir tidak ada distorsi perlakuan pengenaan pajak pada komoditi strategis," ujar Desianto.
Desianto mengatakan, Indonesia dengan populasi 270 juta terbesar keempat di dunia, menjadi pasar yang sangat besar bagi produk peternakan seperti daging, telur, dan susu.
Seiring bertambahnya populasi serta meningkatnya kesadaran gizi masyarakat, permintaan pasar terus berkembang dan ermintaan produk olahan unggas seperti daging ayam, telur dan susu semestinya bisa diperoleh dengan harga terjangkau.