REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masyarakat Indonesia masih kerap menggunakan minyak untuk konsumsi meski berbahaya bagi kesehatan. Penggunaan minyak jelantah juga dinilai menyebabkan stagnasi penggunaan minyak goreng untuk kebutuhan makanan.
Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP KS), Eddy Abdurrachman, mengatakan, salah satu produk dari kelapa sawit adalah minyak goreng. Produk turunan itu selama ini diandalkan untuk menjaga pasar sehingga harga minyak sawit mentah atau (crude palm oil/CPO) terjaga.
"Namun, beberapa tahun terakhir konsumsi minyak goreng domestik cukup stagnan di level 9 juta ton per tahun. Salah satu sebabnya karena sebagian masyarakat belum menggunakan minyak goreng dengan cara yang dianjurkan atau digunakan berkali-kali," kata Eddy dalam sebuah webinar, Rabu (23/6).
Lebih dari itu, ia menyebut peredaran minyak jelantah cukup besar. Hal itu lantas tidak dapat membantu peningkatan konsumsi minyak goreng di pasar domestik.
Eddy menyampaikan, berdasarkan hasil survei dari InterCAFE LPPM IPB terkait penggunaan sawit untuk makanan dan oleochemical, pemakaian sawit berupa margarin, speciality fats, minyak goreng curah dan kemasan berada di level 24 kilogram per kapita per tahun atau dalam rentang 19 kg-27 kg per kapita per tahun.
Adapun dari sisi kesehatan, Eddy menegaskan minyak jelantah sangat membahayakan bagi kesehatan. Minyak jelantah juga kehilangan sebagian besar nutrisinya sehingga manfaat dari kandungan minyak goreng telah hilang.
"Oleh karena itu BPDP KS banyak mempromosikan penggunaan minyak goreng cara sehat. Selain itu, kami juga memiliki program penelitian dan pengembangan agar nutrisi dalam minyak tidak hilang ketika diproses (digoreng)," kata dia.