REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Wakil Menteri Perdagangan Jerry Sambuaga menilai sikap Uni Eropa mengenai sawit Indonesia tidak konsisten dengan prinsip dasar fair and free trade. Menurut Jerry, Uni Eropa terkesan terus mencari-cari alasan untuk menghambat masuknya produk sawit ke kawasan itu. Alasan yang dipakai pun dinilai tidak cukup kuat secara ilmiah sehingga disinyalir hanya merupakan upaya untuk menghindar dari persaingan pasar yang adil.
“Kami berharap Uni Eropa jujur dan punya sikap ilmiah dalam berargumen. Dengan begitu, argumen yang disampaikan obyektif. Kalaupun mereka akhirnya kalah berargumen dengan kita, ya harus diterima secara obyektif juga.” Kata Jerry dalam keterangannya, Ahad (23/5).
Menurut Jerry, dasar berpikir Uni Eropa telah salah, khususnya dalam implementasi parameter-parameter mengenai lingkungan. Selain itu, Uni Eropa cenderung melihat secara parsial dan tidak melihat proses sejarah dengan baik dalam penggunaan lahan.
“Misalnya, Indonesia dilarang menggunakan lahan hutan produksi untuk kelapa sawit. Kritikan dan larangan itu mereka sampaikan di saat hutan mereka sendiri sudah dibabat di masa lalu. Artinya, mereka sendiri tidak mempermasalahkan hutan mereka yang tinggal sedikit sebagai bahan komparasi ketika melihat hutan Indonesia.” Papar Jerry.
Jerry menegaskan, Indonesia berhak mengalokasikan sumber-sumber daya sesuai dengan kerangka kebijakan yang dipunyai Indonesia sendiri. Ia mengatakan, hal itu merupakan bentuk kedaulatan ekonomi Indonesia.
Apalagi, kata dia, Indonesia dalam menyusun kebijakan ekonomi dan pembangunan, sudah mempunyai berbagai pertimbangan multisektor, termasuk dalam isu lingkungan, sosiologis dan kesehatan. Artinya, Indonesia tidak menetapkan kebijakan secara parsial dan pasti sudah mempertimbangkan kondisi riil alam dan masyarakat Indonesia. Karena itu, menurut Wamendag, setiap pihak dalam perdagangan internasional harus berkomitmen pada konsep fair trade.
Sawit adalah salah satu komoditas terpenting dalam perdagangan luar negeri Indonesia. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) memperkirakan pendapatan devisa dari minyak sawit bisa mencapai 20 miliar dolar AS hingga 21 miliar dolar AS atau setara Rp 298,2 triliun (kurs Rp14.200 per dolar AS) di tahun 2020. Selain itu, kelapa sawit juga berdampak positif dalam perspektif trickle down effect karena banyaknya industri yang terkait di dalamnya.
Uni Eropa mempermasalahkan produk kelapa sawit Indonesia, khususnya biodiesel karena dianggap melanggar ILUC dan REDD+. Indonesia menggugat hambatan perdagangan itu di WTO. Wamendag pun beberapa kali memimpin delegasi Indonesia di Jenewa melawan argumen Uni Eropa. Ia pun optimis Indonesia akan memenangkan gugatan dan kelapa sawit Indonesia akan bisa memperkuat peran di pasar internasional.