Rabu 05 May 2021 01:45 WIB

Hindari Penimbunan, Perlu Transparansi Stok Gula Importir

Pemerintah juga perlu transparansi stok gula di gudang produsen.

Rep: Novita Intan/ Red: Nidia Zuraya
Pekerja menimbang dan mengemas gula pasir kiloan di Gudang Perum Bulog. ilustrasi
Foto: ANTARA/Syifa Yulinnas
Pekerja menimbang dan mengemas gula pasir kiloan di Gudang Perum Bulog. ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai pemerintah harus bertindak tegas terhadap perusahaan yang nakal menimbun gula. Terlebih penimbunan ini terjadi saat kebutuhan gula meningkat pada Ramadhan menjelang Lebaran.

Hal ini menyusul adanya temuan 15 ribu ton gula rafinasi dan 22 ribu ton gula kristal di gudang PT Kebun Tebu Mas (KTM) Lamongan oleh Satuan Tugas (Satgas) Pangan Polda Jawa Timur (Jatim).

Baca Juga

Ekonom Indef Bhima Yudhistira mengatakan aksi dugaan penimbunan ini merupakan kejahatan kemanusiaan karena menimbun gula untuk mencari rente keuntungan maksimal di tengah daya beli yang sedang lemah. 

"Solusi bukan sekedar penindakan tapi juga pencegahan. Misalnya dalam pemberian izin impor gula harus dicek dulu apakah stok gula di dalam negeri memang terbatas," ujarnya dalam keterangan resmi, Selasa (4/5).

Selain itu, lanjut Bhima, pemerintah juga bisa memaksa importir, produsen maupun distributor gula untuk memberikan data akurat terkait produksi dan stok gula yang dimiliki. Hal ini dinilai penting agar stok gula ada saat dibutuhkan dan tidak berlebihan sehingga merugikan petani tebu lokal.

"Kemudian juga transparansi terkait stok yang dimiliki oleh gudang dan importir. Selama ini masalahnya adalah pendataan yang lemah sehingga bisa dimanfaatkan oleh rente impor gula," ungkapnya.

Hal senada juga diungkapkan oleh  Anggota Komisi VI DPR Nusron Wahid. Menurut Nusron, kuota impor raw sugar yang diberikan kepada PG seharusnya seimbang dengan penyerapan tebu petani yang mampu dilakukan oleh PG tersebut. 

Dengan demikian, tebu petani juga bisa terserap dengan baik, sehingga petani tidak merasa terancam setiap kali ada gula mentah (raw sugar) impor masuk ke Indonesia.

"Harusnya alokasi kuota disesuaikan dengan jumlah seberapa besar dia menyerap tebu petani. Sehingga petani menjadi tertarik dan semangat untuk budidaya tebu, karena secara ekonomis menjanjikan. Faktanya skrg banyak pabrik yang hanya menyerap tebu petani dua persen dari kuota impor yang diperoleh. Ini sungguh terlalu," jelas dia.

Untuk memberikan efek jera kepada importir dan perusahaan yang berani melakukan penimbunan, pemerintah harus segera menghentikan proses dan izin impor dari perusahaan tersebut. Ini agar menjadi pelajaran bagi importir lain agar tidak bermain-main dengan kuota impor yang diberikan oleh pemerintah.

"Supaya ada efek jera. Sebaiknya izin impornya dibatalkan. Supaya tidak dilakukan yang lain," tutur dia.

Direktur Industri Makanan, Hasil Laut, dan Perikanan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Supriadi menegaskan izin impor raw sugar tidak didikte oleh tuntutan perusahaan tertentu. Namun ditentukan oleh adanya defisit dan kebutuhan yang diajukan oleh industri makanan minuman setahun sebelumnya, sehingga dengan adanya importasi terjadi keseimbangan neraca gula.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement