Rabu 14 Apr 2021 09:30 WIB

OJK: Investasi Ilegal Rugikan Masyarakat Rp 114,9 Triliun

Rendahnya literasi keuangan menyebabkan masyarakat mudah percaya investasi ilegal.

Rep: Novita Intan/ Red: Nidia Zuraya
Investasi bodong
Investasi bodong

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Satgas Waspada Investasi (SWI) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat kerugian masyarakat akibat investasi ilegal sebesar Rp 114,9 triliun dalam satu dekade terakhir. Adapun realisasi itu terhitung sejak 2011.

Deputi Komisioner Edukasi dan Perlindungan Konsumen OJK Sardjito mengatakan, besaran kerugian disebabkan mudahnya masyarakat terbujuk iming-iming keuntungan tinggi. "Beberapa saat lalu di Depok ada, pelakunya tidak lulus SMA, korbannya banyak orang-orang top, berpendidikan tinggi. Itu berarti pelaku lebih cerdas daripada yang ditipu," ujarnya saat konferensi pers virtual, seperti dikutip Rabu (14/4).

Baca Juga

Menurut Sardjito, menjamurnya investasi ilegal juga disebabkan keterbatasan kewenangan OJK dalam menindaklanjuti laporan masyarakat. Di tengah kondisi itu, modus yang digunakan pelaku semakin beragam.

"Itulah mengapa dibentuk Satgas Waspada Investasi. Ada yang namanya orang yang mau menipu dengan berbagai macam cara, tetapi bukan ranah OJK, Kementerian Perdagangan, atau Bappebti. Setidaknya mereka pasi kena ketentuan di KUHP, misalnya penipuan pasal 378 maupun penggelapan pasal 372 pidana," ungkapnya.

 

Sardjito meminta masyarakat juga harus waspada dengan lembaga investasi yang memanfaatkan tokoh masyarakat, agama, atau tokoh publik lain untuk menarik minat investasi. Apalagi, jika lembaga investasi tersebut mengeklaim bebas risiko (risk free).

Baca juga: Kisruh Alibaba Akhiri Zaman Keemasan Raksasa Teknologi China

"Untuk mengetahui mereka legal atau tidak, sangat mudah sekarang. Tinggal lihat ke website OJK saja," ucapnya.

Sementara itu, Dewan Komisioner Bidang Perlindungan Konsumen OJK Tirta Segara menyebutkan ada tiga faktor yang menyebabkan masyarakat mudah percaya dengan investasi dan fintech ilegal. Faktor pertama, rendahnya literasi keuangan, yakni 38 persen sementara tingkat inklusinya sudah 76 persen dan tingkat literasi pasar modal atau produk investasi hanya lima persen.

“Mereka tidak memahami underlying investasi, tidak paham uang mereka itu sebetulnya diinvestasikan di mana. Kemudian, banyak yang tidak paham dengan compound interest atau bunga majemuk, tidak paham korelasi antara risiko dengan imbal hasil, high risk high return,” ungkapnya.

Faktor kedua adanya oknum yang menyalahgunakan kemajuan teknologi sehingga penawaran investasi dapat dilakukan lintas batas, bahkan beroperasi di luar wilayah Indonesia dan menyulitkan pemerintah untuk mengambil tindakan hukum.

“Dengan kemajuan teknologi, pembuatan situs penipuan semakin mudah dan murah. Beberapa modus yang kita temukan itu hanya sewa satu ruko, tapi lingkup operasionalnya sangat luas di berbagai daerah,” ungkapnya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement