REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bursa Efek Indonesia (BEI) menilai secara umum perusahaan-perusahaan teknologi di Indonesia, termasuk fintech, sudah cukup matang untuk bisa go public. Namun, pemanfaatan bursa, khususnya melalui Initial Public Offering (IPO) sebagai salah satu opsi untuk mendukung permodalan, masih belum banyak digunakan oleh para penyelenggara fintech di Indonesia.
Berdasarkan survei Anggota Tahunan Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH) 2019/2020 menunjukkan bahwa sekitar 28 persen perusahaan fintech mendapatkan permodalannya dari ekuitas swasta, 23 persen dari dana sendiri, 19 persen dari angel investor, dan 13 persen dari modal ventura (venture capital).
Komisaris Bursa Efek Indonesia (BEI), Pandu Patria Sjahrir menyadari pemahaman investor publik di Indonesia mengenai perusahaan teknologi masih perlu ditingkatkan, terutama dalam hal menilai perusahaan.
“Terkait dengan cara menilai perusahaan, misalnya, publik cenderung melihat berapa price to earning (PE), padahal terdapat cara-cara lain dalam melakukan penilaian," kata Pandu dalam acara FinTech Talk dengan tema Akselerasi Pertumbuhan Perusahaan Fintech Melalui Pasar Modal Indonesia dengan Initial Public Offering (IPO), Rabu (31/3).
Menurut Pandu, saat ini BEI terus berdiskusi dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk membuat regulasinya. Pandu optimistis fintech di Indonesia akan terus mengalami pertumbuhan lebih banyak lagi, sehingga akan berperan sangat besar terutama dari sisi inklusi keuangan.
Wakil Sekretaris Jenderal AFTECH, Dickie Widjaja mengatakan, pertumbuhan industri fintech di Indonesia terus meningkat. Hal ini dapat dilihat dari naiknya jumlah penyelenggara fintech yang memiliki status perizinan, ragam layanan keuangan digital yang ditawarkan, serta tingkat pemanfaatannya di masyarakat.
Menurut laporan dari CCAF, ADB Institute dan Fintech Space, lebih dari 17 persen penyelenggara fintech di ASEAN berada di Indonesia, atau kedua terbanyak setelah Singapura. Ragam layanan keuangan digital yang ditawarkan oleh penyelenggara fintech di Indonesia kepada masyarakat saat ini juga sudah semakin beragam.
Tidak terbatas pada pembayaran elektronik dan P2P lending, fintech juga menawarkan layanan jasa keuangan seperti asuransi, perencana/penasihat keuangan, serta investasi retail online. Sebagai akibatnya, adopsi fintech di masyarakat Indonesia terus meningkat.
Pembatasan sosial yang terjadi pada masa pandemi saat ini juga telah semakin mendorong pemanfaatan fintech. Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), Jumlah uang elektronik beredar, misalnya, di bulan Februari 2021 telah melebihi 456 juta atau meningkat lebih dari 43 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.
Sementara akumulasi penyaluran pinjaman melalui fintech P2P lending, berdasarkan data OJK, mencapai lebih dari Rp 169 triliun. Jumlah tersebut meningkat sebesar 6,23 persen dibandingkan bulan Februari 2020.