REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatatkan pertumbuhan kredit bank terkontraksi minus 2,41 persen secara tahunan pada 2020. Adapun kontraksi kredit itu terjadi karena korporasi belum beroperasi secara normal akibat pandemi Covid-19 sejak Maret 2020.
Ketua Dewan Komisioner OJK, Wimboh Santoso mengatakan, masa pandemi Covid 19 merupakan badai besar yang membawa guncangan hebat bagi perekonomian dan pasar keuangan global. Hal ini berimbas terhadap perekonomian nasional yang terkontraksi cukup dalam, sehingga menekan kinerja sektor riil dan mengurangi pendapatan masyarakat.
"Sehingga kredit modal kerja yang dipinjam dari bank diturunkan. Mudah-mudahan ini bersifat sementara sehingga saat kondisi pulih kredit ikut pulih," saat acara Pertemuan Tahunan Industri Jasa Keuangan 2021 secara virtual, Jumat (15/1).
Namun demikian, kredit bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN) masih mampu tumbuh 0,63 persen, Bank Perkreditan Daerah (BPD) tumbuh 5,22 persen, dan bank syariah tumbuh 9,5 persen. Adapun pertumbuhan kredit tidak lain didukung oleh penyaluran ke sektor UMKM.
"Stimulus yang dilakukan Kementerian Keuangan penempatan dana pemerintah bank BUMN telah menstimulasi penyaluran kredit Rp 323,8 triliun," ucapnya.
Selain itu, kebijakan restrukturisasi kredit yang dikeluarkan OJK membuat profil risiko bank terkendali, dengan rasio kredit macet atau Non Performing Loan (NPL) sebesar 3,06 persen. Hal ini didukung oleh permodalan yang tinggi sebesar Capital Adequacy Ratio (CAR) sebesar 23,78 persen.
Tercatat hingga akhir Desember 2020, restrukturisasi sebesar Rp 971 triliun atau 18 persen dari total kredit dari sekitar 7,6 juta debitur UKM dan korporasi. Sejalan dengan itu, Wimboh menegaskan, likuiditas perbankan masih cukup memadai.
"Memadainya likuiditas ditandai oleh alat likuid perbankan yang terus meningkat mencapai sebesar Rp 2.111 triliun dibandingkan tahun lalu sebesar Rp 1.251 triliun," ucapnya.
Dana pihak ketiga (DPK) tumbuh sebesar 11,11 persen secara tahunan. Selanjutnya alat likuid per non-core deposit sebesar 146,72 persen dan liquidity coverage ratio sebesar 262,78 persen lebih tinggi dari ambang batasnya.
"Kita tahu pandemi Covid-19 ini luar biasa dan kita harus ambil kebijakan yang luar biasa, tidak pernah dibayangkan. Kami bersama pemangku kepentingan, Menkeu, BI, LPS telah melakukan berbagai kebijakan yang tidak biasa," ucap Wimboh.