Selasa 05 Jan 2021 04:43 WIB

Nasib Kedelai: Impor Mahal, Petani tak Minat Menanam

Harga kedelai lokal tidak menguntungkan bagi petani untuk menanamnya.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Friska Yolandha
Pekerja membuat tempe di sentra perajin tempe Sanan, Malang, Jawa Timur, Senin (4/1/2021). Perajin tempe setempat berupaya mengurangi kerugian akibat melonjaknya harga kedelai impor dari Rp.6.750 menjadi Rp.9.100 per kilogram dengan memperkecil ukuran tempe yang dijual.
Foto: Antara/Ari Bowo Sucipto
Pekerja membuat tempe di sentra perajin tempe Sanan, Malang, Jawa Timur, Senin (4/1/2021). Perajin tempe setempat berupaya mengurangi kerugian akibat melonjaknya harga kedelai impor dari Rp.6.750 menjadi Rp.9.100 per kilogram dengan memperkecil ukuran tempe yang dijual.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kenaikan harga kedelai impor kembali terjadi dan berdampak pada naiknya harga produk makanan tahu tempe di Indonesia. Potensi kedelai lokal dinilai perlu kembali digenjot. Namun, gairah untuk membudidayakan kedelai di dalam negeri cukup rendah.

Rata-rata kedelai impor saat ini melonjak menjadi Rp 9.300 per kg sampai Rp 9.500 per kg. Kenaikan itu disebut akibat langkah Cina yang memborong kedelai dari Amerika Serikat.

Pakar Pertanian dari Universitas Padjajaran, Ronnie Natawidjaja, mengatakan, petani saat ini dihadapkan pada kondisi dilematis lantaran rendahnya harga kedelai lokal. Ronnie mengatakan, kedelai lokal dihargai beragam dari Rp 6.000 hingga Rp 9.000 per kg.

Rentang harga itu, sejatinya lebih tinggi dari rata-rata harga normal kedelai impor yang sekitar Rp 6.000 per kg hingga Rp 7.000 per kg. Namun, menurut Ronnie tetap tidak menguntungkan bagi petani.

"Harga itu tidak menguntungkan bagi petani dan sifatnya hanya tanaman penyelang setelah padi di musim kemarau," kata Ronnie kepada Republika.co.id, Senin (4/1).

Ronnie mengatakan, lagipula dibandingkan kedelai, jagung yang juga menjadi tanaman penyelang setelah padi jauh lebih menguntungkan. Sebab, jagung memiliki pasar yang besar, yakni industri pakan unggas yang telah berkembang pesat. "Jadi kedelai itu sudah jatuh tertimpa tangga menurut saya," kata Ronnie menambahkan.

Menurut Ronnie, industri pengrajin tahu dan tempe di Indonesia yang memproduksi produk kualitas tinggi juga menyukai produksi kedelai lokal meski harganya mahal. Itu lantaran kedelai lokal memiliki kelebihan karena dapat membuat produk tahu lebih menarik dari segi aroma dan ukuran.

Hanya saja, lantaran produksi kedelai lokal hanya bisa diperoleh pada saat musim panas, para pengrajin tahu dan tempe terbiasa menggunakan produk impor yang pasokannya lebih terjamin. "Permintaan kedelai itu seharusnya ada. Tapi di petaninya yang itu memang menjadi masalah," kata Ronnie.

Ia menilai, jika pemerintah ingin serius dalam pengembangan kedelai, perlu menyediakan dana yang besar untuk kebutuhan riset kedelai yang cocok di Indonesia. Pasalnya, kedelai bukan tanaman asli Indonesia, melainkan berasal dari negara-negara tiga musim yang saat ini menjadi eksportir global.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement