REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO – Ekspor Jepang kontraksi lebih dari empat persen dibandingkan tahun sebelumnya pada November yang menjadi penurunan selama 24 bulan berturut-turut. Di sisi lain, terjadi peningkatan perdagangan dengan China, menurut data bea cukai yang dirilis pada Rabu (16/12).
Seperti dilansir di AP, Rabu (16/12), ekspor kendaraan, semikonduktor dan barang-barang manufaktur lainnya menunjukkan penurunan terbesar dari sisi nilai.
Impor turun dengan margin yang lebih besar, yakni 11 persen, didominasi kontraksi pembelian makanan, minyak, batu bara dan gas. Realisasi ini menyebabkan surplus perdagangan global Jepang mencapai 366,77 miliar yen (3,5 miliar dolar AS).
Sementara itu, ekspor ke China naik 3,8 persen, lebih kecil dibandingkan lompatan 10 persen pada Oktober. Impor dari China naik hampir tujuh persen.
Ekspor ke Amerika Serikat (AS) turun 2,5 persen, sedangkan impor turun 14 persen, menyisakan saldo 588,3 miliar yen atau 5,7 miliar dolar AS.
Cina merupakan pasar ekspor terbesar Jepang. Pemulihan Negeri Tirai Bambu dari guncangan pandemi telah membantu Jepang maupun ekonomi lain yang masih berjuang dengan kebangkitan wabah. Pemulihan dari permintaan Cina membantu meningkatkan pertumbuhan ekonomi Jepang pada kuartal Juli-September hampir tiga persen.
Tom Learmouth dari Capital Economics menyebutkan, hubungan perdagangan dengan Cina berpotensi kembali mendorong pertumbuhan Jepang pada kuartal ini. Hanya saja, rebound pada impor mungkin saja terjadi dan harus diperhatikan.
Di sisi lain, melemahnya ekspor jasa menyebabkan nilai ekspor keseluruhan kemungkinan masih rendah. Levelnya bahkan diperkirakan tidak akan kembali ke level sebelum pandemi hingga pertengahan tahun depan.
Penurunan ekspor secara jangka panjang mencerminkan berbagai faktor. Di antaranya, ekspansi agresif produksi luar negeri oleh pabrikan Jepang dan investasi dalam teknologi maju di Cina, Vietnam dan pasar utama lainnya. Tapi, kontraksi yang berkepanjangan telah diperburuk oleh pandemi karena ekspor turun hampir 30 persen dibandingkan tahun sebelumnya pada Mei dan Juni.
Berbeda dengan nominal yang turun, volume ekspor dan impor justru meningkat. Tapi, harga yang lebih rendah menyebabkan mereka jatuh dari sisi nilai. Hal itu terutama berlaku untuk harga energi karena penurunan tajam harga minyak mentah dan beberapa komoditas lainnya karena permintaan yang melemah selama pandemi.
Terlepas dari kelemahan dalam perdagangan, ekonomi Jepang telah membaik setelah resesi yang sudah terjadi sebelum krisis pandemi melanda pada musim semi.