REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Zakat, infak, sedekah, dan wakaf (ziswaf) berpotensi besar dikontribusikan oleh nasabah-nasabah perbankan yang memiliki dana simpanan besar. Bila bank syariah hasil merger bisa membuat nasabah-nasabah besar beralih menggunakan layanan keuangan syariah, maka potensi tersebut bisa direalisasikan.
"Dengan potensi migrasi nasabah besar ini tentunya menjadi ceruk pasar tersendiri bagi dana-dana sosial untuk menawarkan program-program unggulannya," kata pengamat ekonomi syariah dari Sekolah Tinggi Ekonomi Islam (STEI) SEBI Azis Setiawan, Senin (1/12).
Akses layanan dana sosial syariah yang memudahkan nasabah besar ini tentunya berpotensi mendongkrak penghimpunan dan penyaluran ziswaf. "Potensinya sangat besar untuk bisa meningkat jika kolaborasinya tepat dan efektif," ungkap Azis.
Statistik Zakat Nasional 2019 mencatat, hingga akhir tahun lalu pengumpulan Zakat, Infak, Sedekah (ZIS) di Indonesia tumbuh 26 persen secara tahunan. Total nilai ZIS yang dikumpulkan sepanjang 2019 mencapai Rp 10,22 triliun.
Meski tumbuh pesat, pengumpulan ZIS selama 2019 masih jauh dari potensi zakat yang bisa dihimpun berdasarkan Outlook Zakat Indonesia 2019 yang dirilis Baznas. Berdasarkan perhitungan lembaga ini, jumlah potensi penghimpunan zakat di Indonesia mencapai Rp 462 triliun bila seluruh wajib zakat individu dan korporasi menyalurkan sesuai ketentuan.
Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin sebelumnya mengungkapkan, selama ini keuangan sosial Islam belum berhasil menjadi kekuatan finansial alternatif di Indonesia. Apalagi, selama ini pengumpulan dan pemanfaatan wakaf di Indonesia masih didominasi untuk tujuan-tujuan sosial seperti penyediaan fasilitas pemakaman, masjid, mushala, atau madrasah.
Ia meyakini penanganan serius ziswaf dapat menjadi pilar kuat pelaksanaan program kesejahteraan umat Islam. "Dalam bidang social fund, yakni zakat, infaq, shadaqah, dan wakaf, sampai saat ini Indonesia belum bisa mengonversi potensinya yang besar menjadi kekuatan finansial alternatif," kata Kiai Ma'ruf akhir Oktober lalu.