REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Sigit Hardwinarto, menampik anggapan pembangunan Food Estate yang bisa berdampak pada penebangan hutan alam. Sebaliknya, perluasan Food Estate ia klaim bisa bermanfaat untuk berbagai program, di antaranya ketahanan wilayah hutan, dan pangan itu sendiri.
"Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan untuk pembangunan Food Estate dilakukan pada Kawasan Hutan Produksi yang dapat Dikonversi (HPK), dengan syarat harus melewati kajian Tim Terpadu, Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), menyelesaikan UKL UPL dalam rangka perlindungan lingkungan,’’ ujar dia dalam keterangan resminya, Senin (16/11).
Pemerintah menurutnya, juga aktif dalam mempersiapkan kebutuhan menyoal program kawasan hutan untuk pembangunan Food Estate. Dia mengatakan, upaya itu dilakukan dengan mekanisme yang sesuai aturan Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan atau penetapan Kawasan Hutan untuk Ketahanan Pangan (KHKP).
Lanjutnya, kegiatan di lapangan juga sebenarnya tidak akan dilakukan sebelum menyelesaikan Komitmen UKL-UPL. Menurutnya, hal itu menjadi prioritas selain dari mengamankan kawasan HKP yang dilepaskan.
Dia menambahkan, untuk kepentingan reforma agraria, areal yang telah siap untuk ditanami pangan selanjutnya bisa dilakukan redistribusi tanah kepada masyarakat. Asal, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
"Sementara KHKP itu, merupakan kawasan hutan yang secara khusus diperuntukkan untuk kepentingan ketahanan pangan,’’ ucapnya.
Terkait lokasi, dia menegaskan jika hutan lindung (HL) yang digunakan untuk pembangunan Food Estate adalah kawasan yang sudah tidak sepenuhnya berfungsi lindung. Atau biasa disebut kawasan HL terbuka.
Pemilihan kawasan itu, dilakukan untuk menjadikannya wilayah rehabilitasi kawasan HL dengan pola kombinasi tanaman hutan. Sehingga, tanaman hutan itu kedepannya bisa memperbaiki fungsi hutan lindung yang dimaksud.
Dirinya tak menampik masih ada perusakan hutan akibat dampak perluasan food estate. Di antaranya terletak di Jawa Barat dengan kawasan hutan lindung yang sudah menjadi areal kebun sayur. Sedangkan, di Jawa Tengah, seperti di Dieng sebagian kawasan hutan lindung ia sebut sudah menjadi areal kebun kentang.
"Itu bisa membahayakan fungsi pengatur tata air, pengendali erosi dan penjaga kesuburan tanah dari kawasan hutan lindung tersebut. Pembangunan Food Estate semestinya dilihat sebagai wilayah perencanaan untuk land use,’’ ungkap dia.
Namun dirinya menekankan, dalam pengembangan model food estate, manfaat lain akan terasa jika sesuai. Utamanya, berfungsi untuk lahan pertanian berkelanjutan. Selain dari pola kerja hutan sosial, dan intervensi teknologi tinggi di dalamnya, mulai dari penanaman benih, pemupukan, tata air, sistem mekanisme dan lainnya.
“Untuk itu kawasan hutan lindung yang akan digunakan sebagai areal Food Estate tidak harus dilakukan dengan pelepasan kawasan hutan, namun yang terpenting harus dilakukan di kawasan hutan lindung yang memenuhi syarat sebagai hutan lindung yang sudah tidak ada tegakkan pohonnya, atau fungsi hutan lindungnya sudah tidak ada lagi,” ungkap Sigit.
Sebagai informasi, terbitnya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No.24 Tahun 2020 tentang Penyediaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Food Estate, merupakan pedoman regulasi untuk penyediaan kawasan hutan itu sendiri. Hal itu diklaim sejalan dengan program strategis nasional, dalam rangka mendukung ketahanan pangan nasional.