REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebutkan, teknologi finansial (tekfin/fintech) memiliki peranan penting dan potensi besar dalam mempercepat inklusi keuangan di Indonesia. Sebab, tekfin menawarkan layanan keuangan dengan aman, nyaman dan biaya terjangkau untuk masyarakat.
Airlangga berharap keberadaan tekfin dapat membantu pemerintah mencapai target inklusi keuangan hingga 14 poin persen di tahun ini. "Dengan indeks inklusi keuangan 76 persen di tahun 2019, kita harapkan, sesuai arahan Bapak Presiden, targetnya adalah 90 persen di 2020," tuturnya dalam Indonesia Fintech Summit 2020 secara virtual, Rabu (11/11).
Airlangga mencatat, tekfin Indonesia merupakan salah satu sektor yang paling dinamis dan kompetitif di dunia. Sistem pembayaran yang digunakan langsung terintegrasi pada e-commerce, layanan transportasi dan antar, serta jasa travel.
Merujuk pada laporan Google dan Temasek pada tahun lalu, Airlangga menyebutkan, nilai ekonomi tekfin mencapai 40 miliar dolar AS pada 2019 dan diperkirakan tumbuh 49 persen tiap tahun. Nilainya diperkirakan mencapai 130 miliar dolar AS pada 2025.
"Fintech telah menjadi icon dan showcase bagi ekonomi digital," katanya.
Airlangga mengatakan, keberhasilan pengembangan tekfin juga sudah diapresiasi oleh pemerintah dan otoritas. Salah satunya dengan memperkenalkan regulatory sandbox yang tetap memungkinkan inovasi terus berjalan di bawah pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Tidak hanya inklusi keuangan, Airlangga menilai, keberadaan tekfin juga diharapkan dapat menjadi jawaban dari peningkatan pengangguran di masa pandemi. Tekfin diyakini mampu mendorong kegiatan UMKM dan kewirausahaan yang menciptakan banyak lapangan kerja.
Hanya saja, masih ada beberapa tantangan tekfin untuk berkembang di Indonesia. Di antaranya dari segi infrastruktur. Sebagai negara kepulauan, infrastruktur Teknologi, Informasi dan Komunikasi (TIK) dibutuhkan untuk menjangkau berbagai wilayah, terutama daerah tertinggal, terdepan dan terluar.
Selain itu, tingkat literasi keuangan masih rendah dengan nilai 38,03 pesen pada tahun lalu. Baru 25 persen penduduk dewasa yang memiliki kemampuan dasar melakukan transaksi keuangan melalui mobile banking atau pembayaran e-money.
Menurut Airlangga, koordinasi kebijakan dan kegiatan antara berbagai kelompok kepentingan diperlukan untuk menyelaraskan kebijakan guna mengatasi tantangan itu. "Dengan kolaborasi lintas sektoral yang efektif, kami harap ini dapat membangun dan mereformasi sekaligus menumbuhkan kembali perekonomian nasional," ucapnya.