REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Perum Bulog segera membangun pabrik pengolahan sagu yang tersebar di 20 wilayah di Indonesia. Rencana tersebut ditujukan sebagai upaya untuk mendorong diversifikasi produksi dan konsumsi pangan yang selama ini didominasi dengan beras.
Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso mengatakan, pemerintah akan turut menggaet pihak swasta untuk bersama-sama mengembangkan hilirisasi produk dari bahan baku sagu yang dinilainya masih belum optimal. "Ini jadi prioritas kami," ujarnya dalam konferensi pers Pekan Sagu Nusantara secara virtual, Selasa (20/10).
Budi tidak menyebutkan, wilayah prioritas pembangunan pabrik pengolahan sagu yang dimaksud. Tidak hanya membangun pabrik pengolahan, Perum Bulog juga sudah mulai bekerja sama dengan swasta untuk membuat produk turunan sagu, seperti mie sagu.
Sementara itu, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang menekankan, peningkatan pengelolaan sagu nasional sebenarnya sudah menjadi prioritas pemerintah dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. "Artinya, pemerintah sejak awal memandang sagu sebagai bagian strategis bagi ketahanan pangan," katanya, dalam pembukaan PSN secara virtual.
Di tengah pandemi Covid-19, Agus mengakui, diversifikasi pangan menjadi semakin penting. Pada pertengahan Oktober, Food Agriculture Organization (FAO) menyebutkan, pandemi telah menyingkap bahwa sistem pangan dan pertanian global masih sangat rapuh.
Pernyataan ini menguatkan peringatan FAO pada April yang menyebutkan, dunia perlu waspada potensi krisis pangan akibat pandemi. Dari peringatan tersebut, pemerintah terus mendorong diversifikasi produk dan konsumsi agar bisa menjaga ketahanan pangan nasional, termasuk sagu.
Tapi, urgensi diversifikasi pangan Indonesia menghadapi tantangan. Pengolahan sagu masih belum maksimal, terlihat dari luasan lahan sagu yang dimanfaatkan baru mencapai 5,79 persen dari total luasan lahan mencapai 5,5 juta hektare.
"Oleh sebab itu pemerintah berkomitmen untuk mengawal tumbuhnya industri berbasis sagu maupun sagu sebagai bahan pangan," kata Agus.
Salah satu komitmen yang dimaksud Agus adalah melakukan sosialisasi mengenai potensi sagu dan produk turunannya. Ajakan untuk melakukan hilirisasi juga terus digencarkan, termasuk memanfaatkan sagu sebagai sumber energi bioetanol yang saat ini masih belum terealisasi.
Pemerintah juga berkomitmen mencari sumber pendanaan untuk membangun infrastruktur yang dibutuhkan untuk mengembangkan industri sagu. "Kami dari Kemenperin, mewakili pemerintah, terus mencari investor atau industri yang bisa kita bawa atau arahkan untuk mengembangkan industri sagu di Papua," ucap Agus.
Ia juga mengajak Kementerian/ Lembaga lain untuk ikut terlibat dalam pengembangan industri sagu. Misalnya saja Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dengan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (PDTT) untuk memperbaiki infrastruktur di lahan sagu. Sebab, pada umumnya, sagu tumbuh di area terpencil dengan infrastruktur kurang memadai, seperti akses jalan dan listrik.
Pentingnya hilirisasi sagu juga ditujukan untuk meningkatkan daya saing Indonesia. Pasalnya, Agus menjelaskan, lahan sagu banyak ditemui di negara tetangga seperti Malaysia dan Filipina. "Kita harus hati-hati jangan sampai lahan sagu di Indonesia yang begitu luas, tapi nanti pengembangan sagu di negara lain justru lebih maju," katanya.
Agus mengatakan, hilirisasi juga diharapkan mampu menambah penciptaan lapangan kerja. Saat ini, tenaga kerja yang terserap dari industri hulu sagu hanya 280 ribu Kepala Keluarga (KK). Pada akhirnya, pengolahan sagu hingga downstream akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi di wilayah tersebut.