Jumat 04 Sep 2020 07:25 WIB

Ekonom: Tren Pemulihan Manufaktur Masih Terlalu Rapuh

Indeks PMI Indonesia pada Agustus berada pada level 50,8.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Nidia Zuraya
Industri manufaktur
Foto: Prayogi/Republika
Industri manufaktur

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho menyebutkan, tren pemulihan industri pengolahan yang terlihat dari pertumbuhan indeks Purchasing Managers’ Index (PMI) masih terlalu rapuh. Potensi penurunan kinerja sektor manufaktur hingga akhir tahun masih besar.

Andry menjelaskan, penanganan pemerintah yang lambat untuk menekan laju penyebaran virus corona (Covid-19) menjadi faktor utama proyeksi tersebut. Dampaknya dirasakan pada sisi permintaan maupun suplai sekaligus.

Baca Juga

"Kalau disebutkan peningkatan PMI ini sebuah prestasi, saya rasa terlalu cepat. Ke depannya akan masih ada kemungkinan stagnan," tuturnya saat dihubungi Republika.co.id, Kamis (3/9).

Berdasarkan IHS Markit, indeks PMI Indonesia pada Agustus berada pada level 50,8, membaik dibandingkan realisasi Juli, 46,9. Indeks di atas 50 menandakan industri suatu negara dalam situasi ekspansif.

Andry mengatakan, pandemi Covid-19 menyebabkan daya beli masyarakat terbatas, sehingga menekan tingkat permintaan pada output industri yang menjadi salah satu indikator PMI. Jaring pengaman sosial yang sudah digelontorkan pemerintah terbukti belum memberikan dampak signifikan pada konsumsi.

Di sisi lain, Andry menambahkan, pandemi juga sudah menjalarkan efeknya ke sisi suplai. Penanganan penyebaran virus yang masih lemah menyebabkan outbreak di beberapa pabrikan menengah hingga besar. Kondisi ini menghambat produksi karena perusahaan harus melakukan karantina, setidaknya dua pekan.

Dengan situasi ini, Andry menjelaskan, pemerintah harus segera melakukan antisipasi. Kombinasi antara tingkat produksi yang stagnan dengan rendahnya permintaan bisa berdampak signifikan pada penurunan kinerja industri.

Hasil akhirnya, berpotensi terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) yang berimbas pada peningkatan pengangguran dan tingkat kemiskinan. "Itu makanya, kita harus waspada," kata Andry.

Kunci utama untuk mengatasi permasalahan ini adalah penanganan di bidang kesehatan. Andry memberikan contoh negara tetangga seperti Brunei Darussalam dan Malaysia. Dengan penanganan penyebaran virus yang cukup baik, daya beli masyarakat akan meningkat karena mereka tidak takut dengan ketidakpastian.

Di sisi lain, potensi outbreak pada pabrikan-pabrikan pun bisa ditekan sehingga jalur suplai tidak akan terganggu.

Andry menilai, skema ini yang belum menjadi prioritas pemerintah. "Fokusnya masih ke ekonomi, memberikan stimulus ke industri dan konsumsi. Padahal, ketika pandemi tidak diatasi, itu tidak akan menghasilkan apa-apa karena masyarakat tetap takut untuk membeli," ujarnya.

Sebelumnya, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (BKF Kemenkeu) Febrio Kacaribu mengatakan, perbaikan aktivitas manufaktur Indonesia didukung oleh peningkatan produksi dan pesanan baru.

Meski PMI membaik, Febrio mengakui, masih ada berbagai risiko masih harus diwaspadai. Khususnya, tingkat penyebaran Covid-19 yang masih berada dalam tren peningkatan di dunia.  "Selain itu, adanya potensi gelombang kedua Covid-19 yang dapat menghambat aktivitas perekonomian serta membayangi proses pemulihan ekonomi ke depan," tutur Febrio dalam keterangan resmi yang diterima Republika.co.id, Rabu (2/9).

Febrio menilai, peningkatan kinerja manufaktur ini menjadi sinyal yang positif bagi prospek pemulihan ekonomi Indonesia pada semester kedua 2020. Pasalnya, kontribusi sektor manufaktur memiliki peranan penting bagi perekonomian Indonesia.

Pada kuartal kedua, peranan sektor manufaktur mencapai 20 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dengan serapan tenaga kerja per Februari 2020 menyentuh 18,5 juta orang. "Dengan demikian, diharapkan tren pemulihan ini akan terus berlanjut ke depan," kata Febrio.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement