REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah melalui Kementerian Pertanian tengah merintis kawasan korporasi petani di sejumlah daerah. Kawasan tertinggal, terdepan, dan terluar tak menutup kemungkinan bakal dipilih untuk pendirian kawasan korporasi.
Kepala Bagian Perencanaan, Kepala Bagian Perencanaan, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Kementan, Ugi Sugiharto, sepanjang terdapat lahan untuk potensi luas tanam, kawasan korporasi siap dibentuk.
"Untuk padi butuh sekitar 3.000 - 5.000 hektare, jagung 1.000 hektare, kedelai 500 hektare dalam satu kawasan," kata Ugi kepada Republika.co.id, Rabu (26/8).
Ia mengatakan, sejauh ini Kementan telah merintis 14 kabupaten di sejumlah provinsi untuk pembentukan kawasan korporasi. Target tahun ini diharapkan bisa mencapai 130 kawasan korporasi agar semakin banyak petani yang dapat dikonsolidasikan dalam menjalankan usahanya.
Adapun, Ugi menjelaskan, yang dimaksud korporasi yakni kelembagaan ekonomi petani berbadan hukum berbentuk koperasi atau badan hukum lain. Dikarenakan berbasis petani, maka sebagian besar modal korporasi dimiliki langsung oleh petani.
Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih, mengatakan, keberadaan kelompok petani atau gabungan kelompok petani selama ini hanya bersifat temporer. Perlu adanya pemberdayaan koperasi petani agar kelembagaan petani semakin kuat.
"Penyuluh pertanian harus didorong untuk bisa membangun koperasi," kata Henry.
Isu kelembagaan petani selalu disampaikan SPI kepada pemerintah karena perannya yang vital. Menurut Henry, kelembagaan ekonomi petani akan menempatkan petani sebagai subjek dan mendistribusikan tanah untuk petani menjadi prioritas.
Selanjutnya disusul dengan prioritas produksi yang diarahkan untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional, bukan semata-mata mengejar ekspor. "Cara bertani juga akan menjadi ekologis, menggunakan pupuk, racun organik, dan benih lokal," katanya.
Sementara itu, Head of Research Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta mengatakan, Sektor pertanian turut terkena dampak dari pandemi Covid-19, terutama para petani yang pendapatannya menurun.
Tak hanya untuk tanaman pangan, tren produksi komoditas lain yang diunggulkan untuk ekspor seperti biji coklat dan kopi juga menurun. Untuk menjaga dan meningkatkan kinerja sektor pertanian, upaya untuk mendorong masuknya investasi di sektor ini masih perlu ditingkatkan.
Menurut dia tanpa adanya pandemi pun, sektor pertanian Indonesia memang sudah dihadapkan pada beberapa tantangan, misalnya saja keterbatasan lahan, petani yang semakin menua, minimnya penguasaan teknologi dan modal dan perubahan iklim.
"Upaya pemerintah untuk melakukan langkah ekstensifikasi lewat food estate memang patut diapresiasi. Namun seiring dengan bertambahnya jumlah populasi maka lahan yang tersedia tidak akan mencukupi kebutuhan," kata dia.
Lebih lanjut, ia menyinggung soal pentingnya investasi di sektor pertanian. Berdasarkan data Kementerian Pertanian, jumlah total investasi pertanian di 2018 adalah Rp 54,1 triliun.
Jumlahnya kemudian bertambah menjadi Rp 57 triliun pada 2019. Sementara itu, investasi asing di sektor pertanian hanya 3 persen dari total investasi asing yang masuk ke Indonesia. Total investasi yang masuk pada 2019 adalah sebesar 27.09 juta dolar AS.
"Padahal masuknya investasi, lanjut Felippa, dapat membantu membentuk sektor pertanian yang resilien dan berkelanjutan melalui pendanaan riset dan pengembangan, teknologi, maupun pengembangan kapasitas sumber daya masyarakat," kata dia.