REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peluang ekspor produk olahan kelapa asal Indonesia ke depannya dinilai memiliki prospek yang besar. Hal ini mengingat permintaan pasar dunia terhadap komoditas tersebut semakin meningkat.
Alit Pirmansah dari International Coconut Comunity di Jakarta, Kamis (20/8) menyatakan, permintaan produk olahan kelapa dunia semakin meningkat dengan total nilai 11,6 miliar dolar AS pada 2019, terbesar olahan daging kelapa 3,91 miliar dolar AS, air kelapa 3,41 miliar dolar AS, tempurung 2,21 miliar dolar AS, dan sabut 0,2 miliar dolar AS.
Menurut dia, secara umum perdagangan kelapa dunia pada 2020 akan turun tetapi tidak besar dan tidak untuk seluruh produk. "Ketika negara lain kesulitan memenuhi permintaan, ini jadi kesempatan untuk Indonesia menggantikan. Dalam jangka panjang prospeknya positif meskipun banyak tantangan yang harus diatasi," katanya.
Khusus untuk Indonesia, menurut dia, nilai ekspor kelapa pada 2019 sebesar 2,17 miliar dolar terdiri olahan daging kelapa 663,8 juta dolar AS, olahan tempurung kelapa 209,6 juta dolar AS, olahan air kelapa 35,3 juta dolar AS dan olahan sabut 12,6 juta dolar AS.
Volume ekspor yang paling besar selama 2019 adalah minyak kelapa 610.812 ton, kemudian kelapa segar 558.153 ton, arang tempurung kelapa 349.607 ton, kopra meal 237.639 ton.
Disusul, kopra 153.655 ton, desicated coconut 98.742 ton, produk sabut 37.928 ton, gula kelapa 36.465 ton, air kelapa 31.547 ton, santan 30.753 ton, dan karbon aktif 28.708 ton.
Sementara itu, Dirut PT Tom Cococha Indonesia Asep Jembar Mulyana menyatakan tempurung kelapa hanya 16 persen dari total volume kelapa, sehingga untuk memenuhi kebutuhan bahan baku tergantung dari pengusaha minyak dan sabut kelapa.
Sekitar 90 persen produsen arang briket tempurung kelapa di Indonesia memproduksi arang shisha, lanjutnya, Indonesia merupakan produsen arang shisha terbesar dan terbaik di dunia.
"Tidak ada negara lain yang sanggup membuat arang shisha sebaik Indonesia. Merupakan anugrah Tuhan kualitas tempurung kelapa Indonesia merupakan yang terbaik," katanya dalam webinarforum diskusi kelapa "Merebut Pasar Kelapa Dunia" yang diselenggarakan Media Perkebunan dan Sahabat Kelapa Indonesia.
Dikatakannya, arang briket kelapa satu-satunya pasar dengan permintaanlebih tinggi dari pasokan. Banyak permintaan yang tidak bisa dipenuhi oleh Asep karena keterbatasan bahan baku.
"Bisnis ini tidak ada yang mengatur harga seperti minyak kelapa di bursa Rotterdam, sehingga produsen bebas menentukan harga sendiri. Bahan baku 100 persen lokal dan produksi 100 persen diekspor," katanya.
Untuk itu, menurut Asep, pemerintah harus campur tangan memecahkan masalah bahan baku ini, apalagi Indonesia masih banyak mengekspor kelapa segar sehingga bahan baku arang ikut diekspor.
"Tidak mungkin pengusaha arang berhadapan langsung dengan petani dan minta jangan diekspor," ujarnya.
Dirut PT Mahligai Indococo Fiber Efli Ramli menyatakan Indonesia yang mempunyai kebun kelapa terluas di dunia hanya memenuhi tiga persen dari kebutuhan sabut kelapa dunia.
"Sebagian besar sabut kelapa terbuang begitu saja tanpa diolah, bahkan dibakar," ujar Ketua Asosiasi Industri Sabut Kelapa Indonesia itu.
PT MIF yang berdiri 2007 setiap bulan mengekspor 30 kontainer coco fiber atau sabut kelapa dan 35 ton coco peat atau serbuk dari sabut kelapa.
Permintaan coco peat China 3.000 kontainer/tahun, lanjutnya, Jepang 1.500 kontainer, Korea 1.500 kontainer, Italia 300 kontainer, Jerman 200 kontainer, Belgia/Belanda 300 kontainer, Israel 300 kontainer dan negara-negara Timur Tengah 300 kontainer.
Supaya potensi sabut kelapa yang luar biasa tersebut bisa memenuhi kebutuhan dunia, menurut dia, maka tiap sentra produksi kelapa harus didirikan industri ini.
CEO PT Multi Gemilang Agro Plantation Tbk Petrus Tjandra menyatakan kelangsungan ekspor produk olahan kelapa sangat tergantung pada hulunya yaitu ketersediaan buah kelapa.
Saat ini, di hulu ada masalah yaitu kelapa yang sudah tua, lebih dari 60 tahun sehingga produktivitasnya rendah, petani kelapa hanya berpenghasilan Rp5-6 juta per tahun, sumbangan ekspor kelapa juga hanya kecil sekali yaitu satu persen, sehingga kurang mendapat perhatian.
"Indonesia merupakan negara nyiur melambai, keberadaan kelapa harus diselamatkan," katanya.
Dia memaparkan penyelamatan perkebunan kelapa dengan peremajaan kelapa tua dengan kelapa hibrida, sebab kalau menggunakan kelapa dalam baru berbuah tujuh tahun sedangkan kelapa hibrida berbuah tiga tahun.