Rabu 29 Jul 2020 02:44 WIB

Defisit Diperlebar, Ekonom: Itu Sebuah Keniscayaan

Pemerintah memutuskan memperlebar defisit RAPBN 2021 menjadi 5,2 persen terhadap PDB.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolandha
APBN. Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai, kebijakan pemerintah untuk melebarkan defisit pada 2021 sudah patut dilakukan.
Foto: Republika
APBN. Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai, kebijakan pemerintah untuk melebarkan defisit pada 2021 sudah patut dilakukan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai, kebijakan pemerintah untuk melebarkan defisit pada 2021 sudah patut dilakukan. Sebab, pemerintah akan dituntut meningkatkan belanja seiring kebutuhan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), termasuk menangani penyebaran virus Covid-19.  

Di sisi lain, Yusuf menyebutkan, sumber penerimaan negara masih mengalami tantangan besar. Penerimaan dari pajak berada dalam level konsolidasi, yang bisa dilihat dari proyeksi rasio pajak di level sembilan persen. 

Baca Juga

"Dengan kondisi ini, melebar defisit merupakan sebuah keniscayaan," katanya saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (28/7).

Menurut Yusuf, salah satu program yang hampir pasti dilakukan adalah perluasan penerima bantuan sosial dengan menambah jumlah Keluarga Penerima Manfaat (KPM). Ini sebagai upaya dalam menurunkan tingkat kemiskinan yang pada 2020 diprediksi CORE dapat mencapai total 30 juta hingga 37 juta penduduk.

Belanja lain yang juga dibutuhkan tahun depan yakni kesehatan. Pemerintah diyakini menambah komposisi belanja kesehatan dengan asumsi, vaksin Covid-19 yang sudah dijual secara umum pada 2021.

Pelebaran defisit akan menciptakan konsekuensi fiskal berupa penambahan beban utang beberapa tahun mendatang. Sebab, pembiayaan utang akan kembali menjadi andalan pemerintah di tengah seretnya penerimaan negara. 

"Dalam hal ini, pemerintah harus memperhatikan strategi pembiayaan," tutur Yusuf.

Dari beberapa opsi pembiayaan yang dimiliki, Yusuf menuturkan, skema bagi beban (burden sharing) antara pemerintah dengan Bank Indonesia (BI) patut menjadi prioritas. Hal ini terutama agar imbal hasil dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) dapat disesuaikan dengan kemampuan fiskal pemerintah.

Pilihan pemerintah untuk memprioritaskan SBN dengan memanfaatkan investor domestik juga merupakan pilihan tepat. Terlebih dengan melihat animo investor ritel terhadap produk SBN yang masih meningkat.

Hanya saja, Yusuf mengatakan, tahun depan masih merupakan tahun konsolidasi ekonomi. "Dampaknya, likuiditas di pasar keuangan masih akan cenderung ketat," ujarnya.

Melalui Rapat Terbatas pada Selasa, pemerintah memutuskan memperlebar rentang defisit RAPBN 2021 menjadi 5,2 persen terhadap PDB. Angka ini di atas kesepakatan antara pemerintah dengan Banggar DPR pada pertengahan Juni, yakni rentang 3,21 persen hingga 4,17 persen.

Keputusan pemerintah didasari atas bayang-bayang ketidakpastian ekonomi global mengenai penanganan Covid-19 yang masih berlangsung sampai tahun depan. Pemulihan banyak negara pun diprediksi dapat berlangsung lebih lama, termasuk Indonesia. Selain itu, kebutuhan belanja pemerintah untuk penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi juga masih tinggi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement