REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pandemi Covid-19 telah menyajikan tantangan yang amat sulit bagi industri pariwisata dan penerbangan. Tidak hanya mengakibatkan surutnya pendapatan lantaran larangan bepergian, krisis ini juga menekan para pelaku industri perjalanan dan pariwisata, khususnya agen travel dengan permintaan pengembalian dana (refund) yang begitu masif di saat yang bersamaan.
Sebagai ilustrasi, survei yang dilakukan oleh Asosiasi Travel Agent Indonesia (Astindo) yang dirilis pada Maret 2020 silam mencatat 99,8 persen agen perjalanan di Indonesia mengalami penurunan penjualan secara drastis, di antaranya mengalami penurunan penjualan hingga 95 persen.
Sekretaris Jenderal Astindo, Pauline Suharno mengatakan di tengah minimnya pemasukan ini, pelaku bisnis, terutama agen tetap berupaya untuk melakukan yang terbaik guna mengakomodasi hak-hak konsumen yang menuntut pengembalian dana. Namun, patut diakui bahwa hal ini bukan hal yang mudah mengingat tantangannya juga datang dari skema pengembalian dana antara agen perjalanan dan maskapai penerbangan, di mana maskapa domestik memberikan pengembalian dana secara virtual dalam bentuk top up balance atau seperti saldo virtual yang tidak dapat diuangkan.
"Agen travel sudah membayar ke maskapai, uangnya nengendap di maskapai dan maskapai punya aturan berbeda-beda, selain refund, paling tidak jadi voucher travel yang sebenarnya tidak jelek juga, nanti bisa naik maskapai itu lagi, don't cancel juat modify," kata Pauline dalam sesi diskusi panel virtual yang membahas berbagai tantangan di sektor perjalanan dan kompleksitas proses refund tiket pesawat di tengah pandemi Covid-19, Kamis (19/6).
Pengamat industri penerbangan, Gerry Soejatman, menjelaskan lebih lanjut skema yang dimaksud. Setiap harinya, travel agent melakukan transfer sejumlah dana kepada maskapai yang lazim disebut sebagai top up balance oleh para pelaku industri ini. Jadi setiap ada penjualan tiket, maskapai akan memotong top up balance agen travel tersebut.
Ketika ada permintaan refund dari konsumen, agen akan meneruskan permintaan tersebut kepada maskapai. Apabila disetujui, maka maskapai akan mengembalikan refund tersebut kepada agen travel dalam bentuk top up balance.
"Dapat dikatakan bahwa maskapai tidak memberikan refund dalam bentuk cash, seluruh refund berbentuk cash yang diberikan kepada konsumen murni berasal dari kantong travel agent itu sendiri,” jelas Gerry.
Banyak pelanggan mulai frustrasi karena refund cash tidak kunjung datang. Solusi lain yang ditawarkan maskapai seperti opsi reschedule atau refund dalam bentuk Travel Voucher yang sebetulnya tercantum dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 185 tahun 2015, juga kerap ditolak oleh konsumen. Tak jarang travel agent maupun maskapai dituding sengaja menahan uang para konsumen.