REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah menjamin rasio utang dikelola dalam batas aman pada APBN 2021. Batas aman tersebut yakni tidak melebihi 60 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) sesuai Undang-Undang Keuangan Negara.
“Pembiayaan akan dilakukan secara terukur dengan terus menjaga sumber pembiayaan secara aman, hati-hati dan sustainable,” kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu dalam webinar di Jakarta, Rabu (17/6).
Menurut dia, dalam kebijakan makro fiskal tahun 2021, besaran defisit diperkirakan berada pada rentang 3,05-4,01 persen terhadap PDB. Rasio utang, lanjut dia, juga diproyeksi naik kisaran 33,8-35,88 persen terhadap PDB.
Besaran defisit dan rasio utang yang masih tinggi itu, kata dia, tidak terlepas dari upaya pemerintah melakukan pemulihan ekonomi sebagai imbas dari dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan pandemi Covid-19 tahun 2020.
Ia mengharapkan APBN 2021 menjadi instrumen yang melindungi masyarakat paling terdampak, memperkuat ekonomi domestik, pemulihan kesehatan dan ekonomi nasional. Kebijakan fiskal tahun 2021, lanjut dia, juga tidak berdiri sendiri namun menjadi bagian jangka menengah melalui reformasi sejumlah sektor terutama untuk produktivitas dan daya saing agar Indonesia keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah.
Sebagai gambaran utang pemerintah pusat, Kementerian Keuangan mencatat jumlah utang per akhir Mei 2020 mencapai Rp 5.258,57 triliun atau mencapai 32,09 persen terhadap PDB. Rinciannya, sebesar Rp 4.442,90 atau 84,49 persen bersumber dari surat berharga negara (SBN) terdiri dari SBN dalam bentuk rupiah (domestik) sebesar Rp 3.248,23 triliun dan valuta asing Rp 1.194,67 triliun.
Selain SBN, utang juga berasal dari pinjaman atau 15,51 persen mencapai Rp 815,66 triliun terdiri dari pinjaman dalam negeri Rp 9,94 triliun dan luar negeri Rp 805,72 triliun.
Meningkatnya utang pemerintah pusat itu karena kebutuhan pembiayaan yang meningkat akibat pandemi Covid-19 untuk kesehatan, jaring pengaman sosial dan pemulihan ekonomi nasional.