REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pemerintah menambah anggaran penanganan pandemi Covid-19 hingga Rp 18 triliun dari Rp 677,2 triliun menjadi Rp 695,2 triliun. Penambahan dilakukan terhadap dua pos, yakni pembiayaan korporasi dan bantuan terhadap sektoral kementerian/ lembaga serta pemerintah daerah.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, biaya penanganan pandemi ini diharapkan mampu mengurangi tekanan berat terhadap ekonomi yang sudah terjadi pada kuartal kedua. "Sehingga, kuartal ketiga mulai terjadi pemulihan atau pengurangan tekanan," tuturnya dalam konferensi pers Kinerja APBN Kita, Selasa (16/6).
Perubahan anggaran penanganan Covid-19 diketahui telah mengalami beberapa kali kali perubahan. Pada Maret 2020, Sri menyebutkan, pemerintah menyiapkan Rp 405,1 triliun untuk penanganan pandemi. Setelah itu, setelah rapat terbatas bersama Presiden Joko Widodo pada awal Juni, Sri mengumumkan anggaran lebih besar, yakni Rp 677,2 triliun.
Sri membuka kemungkinan tambahan biaya anggaran di kemudian hari. Sebab, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sebagai bendahara negara harus terus mengikuti situasi penyebaran virus dan dampaknya yang terus bergerak.
Dalam melaksanakan program penanganan Covid-19, Kemenkeu harus berhubungan dengan institusi keuangan, yakni perbankan dan lembaga keuangan. Khususnya untuk program restrukturisasi kredit kepada dunia usaha. "Angka dan kapasitas mereka (lembaga keuangan) kan berbeda-beda. Makanya, angka (penanganan Covid-19) bergerak terus," ujarnya.
Dalam biaya penanganan Covid-19 terbaru, pos pembiayaan korporasi mendapatkan tambahan anggaran Rp 9 triliun. Semula, pemerintah menganggarkan Rp 44,57 triliun yang kini dinaikkan menjadi Rp 53,57 triliun.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Febrio Kacaribu mengatakan, tambahan tersebut digunakan untuk program kredit modal kerja yang diperuntukkan bagi sektor padat karya. "Insentif atau stimulus ini, modalitasnya sedang difinalisasi," tuturnya.
Secara garis besar, Febrio menggambarkan, program tersebut digunakan sebagai boost untuk modal kerja korporasi dalam bentuk penjaminan. Pemerintah tidak menyalurkan pinjaman secara langsung menggunakan APBN, melainkan membayar Imbal Jasa Penjaminan (IJP). Skema serupa diterapkan pemerintah untuk menjamin kredit modal kerja UMKM dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).
Tambahan juga diberikan untuk membantu memberikan bantuan kepada pemerintah daerah. Dirjen Perimbangan Keuangan Kemenkeu Astera Primanto Bhakti menyebutkan, pinjaman daerah yang semula dianggarkan Rp 1 triliun, kini naik menjadi sekitar Rp 5 triliun melalui PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI). "Mungkin ada juga yang stand by sekitar Rp 5 triliun sampai Rp 10 triliun," ucapnya.
Pemerintah juga menambahkan anggaran untuk cadangan Dana Alokasi Khusus (DAK) yang semula Rp 8,7 triliun menjadi Rp 9,1 triliun. Penggunaan DAK yang sebelumnya dihentikan kini akan diaktifkan kembali, terutama untuk program-program padat karya yang dapat selesai empat sampai lima bulan.
Prima berharap, penambahan alokasi untuk cadangan DAK dapat membantu meningkatkan ekonomi daerah yang bisa berimbas pada perbaikan kesejahteraan masyarakat sekitar. Hibah terkait pariwisata yang sudah dianggarkan sebesar Rp 3,3 triliun juga diharapkan mampu mencapai tujuan tersebut.
Selain mendapatkan dukungan dari pemerintah pusat, Prima menjelaskan, daerah juga sudah melakukan refocusing dan realokasi APBD untuk penanganan Covid-19. "Sudah ada 537 daerah yang telah realokasi anggaran dengan total Rp 71,7 triliun," katanya.