REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) mempertanyakan konsep proyek food estate di Kalimantan Tengah yang dicanangkan pemerintah. Ia menuturkan, berkaca dari pengalaman masa lalu, banyak faktor risiko besar dari pendirian food estate sementara manfaat yang diterima tak sebanding.
Koordinator Nasional KRKP, Said Abdullah, mengatakan, secara umum konsep food estate akan berada di bawah manajemen pengelolaan suatu perusahaan. Di sisi lain, tak menutup kemungkinan bakal mendatangkan petani dari daerah lain yang bisa menimbulkan konflik sosial.
"Siapa yang akan mengelola itu? Apakah BUMN? Itu baik baik-baik saja dan perlu didukung. Tapi hati-hati soal masalah sosial budaya setempat," kata Said kepada Republika.co.id, Jumat (12/6).
Lebih lanjut, Said pun mempertanyakan status petani yang nantinya bakal menjadi penggarap lahan food estate. Tanpa manajerial yang baik, sulit untuk mendapatkan manfaat yang signifikan dari hasil pertanian.
Di sisi lain, ia menekankan, jika BUMN yang nantinya menjadi pengelola, potret BUMN di sektor pangan saat ini memiliki performa yang kurang memuaskan bahkan merugi. BUMN sektor pangan juga belum cukup kuat untuk bisa bersaing di pasar bebas dan berhadapan dengan swasta.
"Artinya, persoalan selanjutnya soal tata manajerial. Bagaimana mau intensifikasi dan ekstensifikasi lahan kalau manajemen perusahaan saja belum mampu bersaing," kata dia.
Said menambahkan, soal pengawasan proyek food estate juga perlu menjadi perhatian bersama. Ia mewanti-wanti pemerintah agar proyek itu bebas dari pemburu rente yang sekadar ingin menguntungkan diri sendiri.
Niat baik pemerintah untuk meningkatkan ketahanan pangan perlu dibarengi dengan keseriusan pengawasan proyek yang ketat. "Ini kalau tidak serius diawasi akan menjadi ruang mainan baru dan yang dikorbankan adalah lingkungan dan petani itu sendiri," katanya.
KRKP pun menolak jika pemerintah bakal menggunakan lahan eks gambut sebagai area perluasan cetak sawah baru. Said menegaskan, menggunakan lahan gambut sebagai area persawahan baru membutuhkan biaya besar dan merusak ekologi lingkungan.
Pihaknya mendorong pemerintah untuk mengutamakan lahan-lahan produksi non gambut yang memang sudah dimiliki oleh negara.