REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat migas Kurtubi mengingatkan agar harga BBM di dalam negeri tidak ikut naik mengimbangi peningkatan harga minyak dunia yang kembali terjadi. Setelah sempat anjlok, harga minyak dunia kembali meroket dalam satu bulan terakhir.
Bahkan, awal pekan ini, jenis WTI sudah dijual 32,5 dolar AS per barel dan Brent pada level 34,8 dolar AS per barel. Apabila dibandingkan dengan harga satu bulan lalu pada 21 April 2020 yang merupakan harga penutupan terendah sepanjang enam bulan terakhir di mana harga minyak WTI 11,57 dolar AS dan Brent 11,57 dolar AS per barel, maka terjadi peningkatan harga masing-masing 180 persen dan 80 persen.
"Peluang harga minyak dunia untuk terus meningkat, sangat terbuka. Tetapi, harga BBM jangan ikut dinaikkan," ujar Kurtubi di Jakarta, Jumat (22/5).
Menurut dia, jika pemerintah tidak menaikkan harga BBM, maka akan berperan dalam meningkatkan daya beli masyarakat. Sebaliknya, jika tren peningkatan harga minyak mentah tersebut langsung disikapi dengan menaikkan pula harga BBM maka menyebabkan turunnya daya beli masyarakat.
"Sangat disayangkan kalau sampai menaikkan harga BBM. Karena kestabilan harga saat ini dibutuhkan untuk meningkatkan purchasing power yang akan terus mendorong konsumsi masyarakat," kata Kurtubi melalui keterangan tertulis.
Mantan anggota Komisi VII DPR itu menegaskan harga BBM di dalam negeri boleh dinaikkan kalau minyak dunia sudah menyentuh 60 dolar AS per barel. Peluang bahwa harga minyak dunia akan terus melesat memang terbuka lebar, lanjutnya, hal itu bisa dilihat dari dua faktor yang berpengaruh.
Pertama, implementasi pemangkasan sebesar 9,7 juta barel per hari oleh negara-negara OPEC plus. Kedua, melihat perkembangan pandemi Covid-19, karena saat ini banyak negara sudah mulai melonggarkan status lockdown mereka.
"Pelonggaran lockdown juga mulai dilakukan. Kondisi demikian tentu mendorong peningkatan konsumsi BBM karena kendaraan lalu lintas kembali ramai. Dan ujungnya tentu saja akan mendorong pula peningkatan harga minyak dunia," kata dia.
Di sisi lain, Kurtubi juga melihat negara-negara OPEC plus tidak hanya konsisten dengan kesepakatan pemotongan produksi, namun juga mempercepat pengurangan produksi. "OPEC plus akan mempercepat karena dorongan Amerika. Amerika sangat berkepentingan agar harga kembali naik minimal di level 40 dolar AS per barel," katanya.