REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Heru Kristiyana menyebutkan sebanyak 90 bank telah melakukan restrukturisasi kredit untuk 4,33 juta debitur. Total outstanding restrukturisasi kredit mencapai Rp 391,18 triliun hingga 11 Mei 2020.
Heru mengatakan angka tersebut terdiri dari 3,76 juta debitur UMKM dengan outstanding Rp 190,3 triliun dan non UMKM sebanyak 567.870 debitur dengan outstanding Rp 200,88 triliun. "Jadi kita melihat 90 bank sudah melakukan realisasi restrukturisasinya, namun ada beberapa bank yang masih memilah-milah," katanya dalam diskusi daring di Jakarta, Selasa (19/5).
Sementara itu, Heru menuturkan terdapat 102 bank yang berpotensi mengimplementasikan restrukturisasi kredit kepada 14,63 juta debitur dengan baki debet Rp1.275,3 triliun hingga 11 Mei 2020.
Ia merinci potensi tersebut terdiri dari 12,5 juta debitur UMKM dengan baki debet Rp538,22 triliun dan 2,14 juta debitur non UMKM dengan baki debet Rp737,09 triliun.
Oleh sebab itu, Heru menyebutkan masih terdapat 12 bank dari estimasi 102 bank yang belum mengimplementasikan restrukturisasi kredit karena masih memilah kondisi debitur.
Ia menjelaskan hal tersebut terjadi karena masing-masing bank dan debitur memiliki kondisi yang berbeda-beda seperti BRI yang bergerak lebih cepat dalam merestrukturisasi kredit dibandingkan bank lain.
“Kita melihat kondisi per bank dan debitur yang berbeda sehingga sudah ada bank yang berlari kencang seperti BRI,” ujarnya.
Heru melanjutkan, perbankan memiliki hak dalam melakukan penilaian terhadap debiturnya seperti pemberian restrukturisasi kredit untuk Aparatur Sipil Negara (ASN) yang memiliki usaha terdampak Covid-19.
Tak hanya itu, perbankan juga memiliki hak penuh dalam menilai debiturnya jika ada yang meminta restrukturisasi kedua karena usahanya belum mampu bangkit setelah mendapat restrukturisasi pertama.
“Kita teruskan wisdom ke masing-masing perbankan dalam menilai restrukturisasi apakah diberikan atau tidak. Kembali lagi pada kebijakan masing-masing bank,” tegasnya.
Di sisi lain, Heru menyatakan terdapat kendala dalam merealisasikan restrukturisasi kredit seperti kesulitan tatap muka, verifikasi data, dan pengkinian kondisi debitur akibat social distancing serta pembatasan akses di beberapa wilayah.
Kemudian restrukturisasi debitur secara bulk untuk yang bersifat mass product serta proses restrukturisasi harus dilakukan oleh pejabat atau pegawai yang tidak terlibat dalam kredit restrukturisasi sehingga menghambat proses percepatan stimulus.
Selanjutnya persetujuan restrukturisasi harus naik satu tingkat yang menimbulkan bottleneck dalam prosesnya serta beberapa fungsi tidak dapat dilakukan melalui WFH sehingga harus melalui mekanisme split office.
Terakhir, tantangan dari industri yang masih berpedoman pada SOP lama sehingga cenderung memakan waktu dan birokrasi.