REPUBLIKA.CO.ID, LONDON – Ekonomi dunia menyusut 1,3 persen pada kuartal pertama tahun ini dibandingkan periode yang sama pada 2019 (year-on-year/ yoy). Penyebabnya, penurunan pertumbuhan ekonomi di Cina yang mengalami kontraksi hingga 6,8 persen (yoy) akibat perlambatan ekonomi sebagai dampak pandemi Covid-19.
Data tersebut disampaikan The Economist dalam edisi Kamis (30/4) yang merupakan hasil perhitungan bersama Now-Casting Economics, perusahaan riset yang memberikan prediksi ekonomi ke investor institusi.
Untuk Produk Domestik Bruto (PDB) Amerika Serikat (AS) menunjukkan tren kontraksi 12 persen pada kuartal pertama dibandingkan tahun lalu. Ini berdasarkan perhitungan Federal Reserve Bank New York, mengacu pada berbagai langkah untuk menghasilkan indeks output mingguan ekonomi Amerika. Salah satunya, berdasarkan klaim pengangguran.
Ekonomi berbagai negara kini tengah mengadapi tekanan. Langkah-langkah yang diambil untuk menekan laju penyebaran virus corona telah membawa kerugian ekonomi luar biasa.
Tidak semua sektor ekonomi berkinerja buruk, seperti yang terjadi pada Netflix. Tingkat langganan barunya meningkat dua kali lipat dibandingkan biasanya pada kuartal pertama 2020, dengan sebagian besar pertumbuhan tersebut terjadi pada Maret. Selain itu, terjadi peningkatan 25 persen penggunaan jasa pengiriman makanan Uber pada Maret dan April.
Tapi, secara umum, pola ekonomi dunia menunjukkan kesuraman. Data dari Womply, perusahaan yang memproses transaksi 450 ribu bisnis kecil di seluruh Amerika, menunjukkan bahwa bisnis di semua sektor telah kehilangan pendapatan besar. Restoran, bar dan bisnis rekreasi telah sangat terpukul, dengan penurunan pendapatan sekitar dua pertiga sejak 15 Maret.
Perjalanan dan pariwisata mungkin menderita kerugian terdalam. Di Uni Eropa, di mana pariwisata menyumbang sekitar empat persen dari PDB, jumlah orang yang berpergian dengan pesawat turun signifikan dari 5 juta orang menjadi 500 ribu orang. Pada 19 April, kurang dari lima persen kamar hotel di Italia dan Spanyol ditempati.
Angka-angka ini sesuai dengan perkiraan Goldman Sachs mengenai hubungan antara dampak lockdown dengan pengaruhnya terhadap output. Secara kasar, terlihat bahwa kebijakan lockdown seperti di Italia berdampak pada penurunan PDB hingga 25 persen.
Sementara, langkah-langkah pengendalian virus sambil menjaga ekonomi berjalan cukup lancar seperti di Korea Selatan berhubungan erat dengan pengurangan PDB sebesar 10 persen.