REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Center for Reform of Economic (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai, neraca dagang Indonesia pada Februari yang mengalami surplus 2,34 miliar dolar AS belum sepenuhnya menggambarkan kondisi baik. Sebab, perbaikan neraca dagang bulan lalu masih banyak dipengaruhi faktor musiman.
Yusuf memberikan contoh, ekspor logam mulia yang mengalami peningkatan. Ia menduga, tren tersebut karena pergerakan ekonomi global yang semakin tidak menentu.
"Akhirnya, banyak investor atau masyarakat kaya dari Indonesia yang mengalihkan bentuk investasi menjadi logam mulia dan diletakan ke negara safe haven, Singapura," ujarnya ketika dihubungi Republika.co.id, Senin (16/3).
Berdasarkan data yang disampaikan Badan Pusat Statistik (BPS), Senin (16/3) siang, kondisi surplus Februari dikarenakan penurunan impor secara signifikan, sedangkan nilai ekspor naik.
Tercatat, penurunan nilai impor mencapai 18,69 persen dibandingkan Januari 2020, dari 14,27 miliar dolar AS menjadi 11,60 miliar dolar AS. Sedangkan, nilai ekspor tumbuh 2,24 persen, dari 13,63 miliar dolar AS pada Januari menjadi 13,94 miliar dolar AS.
Salah satu golongan barang yang mengalami kenaikan terbesar ekspor adalah logam mulia, perhiasan/permata. Peningkatannya mencapai 263,9 juta dolar AS dari 597,5 juta dolar AS pada Januari menjadi 861,4 juta dolar AS pada bulan lalu.
Sementara itu, Yusuf menambahkan, produk industri manufaktur juga terbantu karena peningkatan ekspor produk lemak dan minyak hewan/nabati. Motif peningkatan ini diduga untuk berjaga-jaga mengamankan stok apabila penyebaran virus corona (Covid-19) memburuk di negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia.
Khusus untuk Malaysia, Yusuf mengatakan, peningkatan untuk ekspor minyak nabati diduga karena persiapan dalam menghadapi bulan Ramadhan. Tingginya permintaan ini pula yang menyebabkan kenaikan rerata harga produk ekspor non migas.
"Termasuk di dalamnya manufaktur," tuturnya.
Lemak dan minyak hewan/ nabati menjadi golongan barang dengan peningkatan ekspor yang juga besar. Peningkatannya secara month-to-month sebesar 130,4 juta dolar AS. Pada Januari, nilainya 1,52 miliar dolar AS yang naik menjadi 1,65 miliar dolar AS pada Februari.
Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Yunita Rusanti mengatakan, penyebaran Covid-19 menjadi salah satu faktor pembentuk utama neraca dagang yang surplus. Kebijakan lockdown di China menyebabkan sektor produksi di sana terhenti, sehingga mengganggu rantai pasok bahan baku dan barang modal ke banyak negara, termasuk Indonesia.
Kondisi ini tergambarkan dari nilai impor dari China yang turun 49,63 persen menjadi 1,98 miliar dolar AS dari 3,94 miliar dolar AS pada Januari 2020. Komoditas yang mengalami berkontribusi besar dalam penurunan itu adalah mesin dan perlengkapan elektrik yang turun 45,17 persen.
"Cukup signifikan (dampaknya)," ujar Yunita dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta, Senin.
Selain dari sisi impor, ekspor ke China juga turun meski tidak sesignifikan impor. Penurunan ekspor Indonesia ke China mencapai 11,63 persen, dari 2,11 miliar dolar AS pada Januari menjadi 1,87 miliar dolar AS pada Februari.
Tembaga dan barang daripadanya merupakan komoditas ekspor dengan penurunan terbesar, yaitu hingga 57,4 persen.
Meski secara umum neraca dagang Indonesia surplus, neraca dagang migas masih mengalami defisit 931,6 juta dolar AS. Nilai ekspor 816,0 juta dolar AS, sedangkan impornya 1,74 miliar dolar AS.
Yunita mengatakan, kondisi tersebut tidak terlepas dari harga minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP) yang turun 30,41 persen dibandingkan Januari. "Dari 63,58 dolar AS per barel menjadi 56,61 dolar AS per barel," katanya.
Kondisi surplus pada Februari 2020 membaik dibandingkan neraca dagang Januari 2020 yang mengalami defisit 640 juta dolar AS. Februari 2019 pun, neraca dagang Indonesia hanya surplus 330 juta dolar AS, sedangkan Februari 2018 defisit 50 juta dolar AS.