REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Berly Martawardaya menilai ada indikasi investasi menurun pada awal tahun ini meski neraca perdagangan surplus. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indonesia pada Februari 2020 surplus 2,3 miliar dolar AS.
"Ini karena impor berkurang yakni barang modal turun 10 persen dibandingkan tahun lalu," katanya dihubungi di Jakarta, Senin (16/3).
Menurut dia, penurunan impor itu sebagai imbas merebaknya virus corona jenis baru atau Covid-19 ke sejumlah negara termasuk Indonesia. Ia berharap kepada pemerintah untuk memastikan penyederhanaan terutama dalam perizinan optimal dilakukan terutama jika penyebaran virus itu mulai mereda.
Dengan begitu, lanjut dia, investasi yang tertunda karena COVID-19 bisa segera masuk setelah adanya perbaikan dalam kemudahan berbisnis. "Kalau investor yang diimpor mesin dulu itu barang modal, setelah mesin beroperasi, baru kemudian barang baku masuk. Jadi sepertinya ini indikasi berkurangnya investasi karena corona," imbuhnya.
Badan Pusat Statistik (BPS) merilis neraca perdagangan RI surplus 2,3 miliar dolar AS pada Februari 2020. Surplus itu karena nilai ekspor Indonesia periode Januari-Februari 2020 yang lebih besar dibandingkan periode sama tahun 2019, sebaliknya impor Januari-Februari 2020 lebih rendah dibandingkan periode sama tahun lalu.
Pada Januari-Februari 2020, ekspor RI mencapai 27,5 miliar dolar AS atau naik 4,10 persen jika dibandingkan periode sama tahun lalu dan impor mencapai 25,8 miliar dolar AS atau turun 4,95 persen. BPS mencatat ekspor Indonesia pada Februari 2020 melonjak 11 persen jika dibandingkan periode sama tahun lalu sedangkan impor turun 5,11 persen jika dibandingkan periode sama tahun 2019.
Untuk impor berdasarkan penggunaannya, selama Januari-Februari 2020 penurunan terjadi pada golongan bahan baku/penolong sebesar 981,2 juta dolar AS atau turun 4,8 persen dan barang modal sebesar 483,7 juga dolar AS atau turun 10,6 persen.
Apabila dirinci, penurunan impor terbesar yakni mesin dan perlengkapan elektrik sebesar 485,9 juta dolar AS (28,14 persen), mesin dan peralatan mekanis sebesar 374,1 juta dolar AS (16,3 persen), kendaraan dan bagiannya sebesar 184,5 juta dolar AS (29,3 persen). Selain itu, plastik dan barang dari plastik sebesar 141,8 juta dolar AS (19,8 persen) dan bahan kimia organik sebesar 100,5 juta dolar AS (19,9 persen).
Ditinjau dari asal negara, penurunan disumbangkan oleh China sebesar 17,7 persen disusul Jepang 9,8 persen dan India 14,4 persen. China masih menjadi negara asal impor terbesar yang menguasai porsi sebesar 26,7 persen dari 13 negara utama.