REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) menilai, sektor Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) berpeluang memasok produk dan jasanya ke industri perhotelan. Baik saat pembangunan hotel, maupun ketika sudah beroperasi.
"Hanya saja untuk beberapa produk misalnya peralatan kebersihan, kualitas yang dihasilkan UMKM belum memenuhi standar ditetapkan. Sementara untuk memenuhi kebutuhan makanan minuman termasuk buah-buahan industri perhotelan, masih banyak dipasok dari pulau Jawa," ujar Sekretaris Jenderal (Sekjen) PHRI Yusran Maulana di Jakarta, Kamis, (5/3).
Ia menjelaskan, makanan dan minuman dipasok dari Jawa, bukan karena tidak ada potensi di daerah. Hanya saja, secara kontinuitas, mereka masih belum mampu.
"Sehingga hotel-hotel di Sumatera atau Kalimantan dalam memenuhi kebutuhan makanan minuman masih mendatangkan dari Jawa," kata Yusran. Ia menambahkan, UMKM disarankan lebih menonjolkan keunggulan keunikan produk dari destinasi wisata setempat.
Dirinya menjelaskan, tren pariwisata ke depan akan mengarah pada destinasi wisata. "Ini yang kurang ditangkap UMKM, karena umumnya produk kerajinan yang ditawarkan UMKM hampir sama disetiap destinasi," ujar dia.
Pada kesempatan sama, Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Menkop UKM) Teten Masduki menambahkan, sektor UMKM harus dikembangkan. Terutama dalam hal ekspor.
Sebab, meski memberikan kontribusi pada Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 60 persen. Hanya saja, sumbangan UMKM terhadap ekspor baru mencapai 14,5 persen atau lebih rendah dibanding UMKM di Thailand, Vietnam maupun Korea.
"Tapi kita optimistis kalau problem UMKM dibenahi, kontribusi UMKM pada ekspor bisa ditingkatkan dalam 5 tahun ke depan. Yang paling utama adalah UMKM harus menguasai market dalam negeri dulu," kata Teten.
Menteri Teten memaparkan, survei OECD 2018 menunjukkan daya saing terkait kualitas dan standard produk Indonesia masih di peringkat empat untuk kawasan Asia Tenggara. "Hal itu menunjukkan UMKM kita harus terus berbenah untuk bisa meningkatkan daya saingnya. Yang akan kita fokuskan untuk meningkatkan ekspor adalah perusahaan menengah, bagaimana mereka bisa beralih dari teknologi sederhana menjadi teknologi maju sehingga bisa mendapatkan sertifikasi kelas dunia," jelas Menkop dan UKM.
Pembangunan UMKM, kata Menteri Teten, akan diarahkan pada sentra-sentra produksi sehingga bisa dilakukan penataan dan pembinaan dalam satu tempat. Juga akan ada sharing factory atau rumah produksi bersama, yang akan menjawab masalah perbaikan standard produk. "Contohnya, di industri kayu, karena tak punya alat modern, maka mutu kayu yang dihasilkan menjadi kurang bagus," lanjut Teten.
"Sebenarnya sudah ada model rumah produksi bersama untuk sentra industri makanan, yaitu di Payakumbuh Sumbar, yang bahkan sudah mampu mengekspor bumbu rendang ke Arab Saudi untuk jamaah haji asal Indonesia. Dengan sharing factory ini, juga menjawab masalah perijinan dan legalitas dari BPOM maupun MUI," terang Teten.
Menteri Teten menambahkan ide tentang rumah produkai bersama ini, bukan hanya bertujuan meningkatkan daya saing UMKM. Namun juga bisa menjadi wadah konsolidasi lintas sektoral, pasalnya yang mengurus UMKM setidaknya ada 18 Kementerian atau Lembaga (K/L). Manfaat lain, sharing factory pun menjawab masalah kapasitas produksi UMKM yang biasanya tidak mampu melayani permintaan dalam jumlah besar dan supply yang teratur.
"Ada pemikiran juga, jangan terlalu banyak merek untuk produk UMKM sejenis. Produknya bisa diringkas dalam satu atau dua brand saja sehingga kapasitas produksinya besar, dan persaingan antar UMKM tidak terlalu keras. Misalnya bapkia patok, saya kira persaingannya sudah tidak sehat karena brand nya terlalu banyak, sebaiknya di konsolidasi saja," jelas Teten.