REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) M Fanshurullah Asa mengatakan realisasi pemakaian bahan bakar minyak (BBM) Solar pada 2019 melebihi kuota hingga sebesar 1,6 juta kiloliter (kl). Dari kuota yang ditetapkan APBN sebesar 14,5 juta kl ternyata realisasinya mencapai 16,2 juta kl.
Hal itu disampaikan Kepala BPH Migas saat rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR RI di Gedung DPR RI, Jakarta, Rabu (12/2). Pernyataan disampaikan terkait pertanyaan beberapa anggota Komisi VII tentang alasan terjadinya overkuota tersebut.
Anggota Komisi VII dari Fraksi Demokrat Muhamad Nasir mengatakan, di wilayah Riau ada kelebihan kuota BBM sebesar 25 persen. Tapi, ia mendapatkan laporan dari masyarakat justru BBM menjadi barang yang langka. Sehingga ia mempertanyakan kemana larinya BBM tersebut.
“Gimana cara (BPH Migas) menuntaskan kebocoran? Sekarang di Riau itu ada kelebihan kuota BBM sebesar 25 persen. Nah kemana itu? masyarakat bilang nggak ada, barangnya susah,” kata Nasir.
Menanggapi pernyataan tersebut, Fanshurullah Asa mengatakan, hal itu terjadi karena Peraturan Presiden (Perpres) No 191 tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak. Selama Perpres itu belum direvisi, maka ada potensi realisasi BBM subsidi akan terus melebihi kuota.
“BPH Migas sudah mengusulkan beberapa kali perlu merevisi Perpres No 191 tahun 2014, lampirannya. Ada catatan kami ini yang potensi menyebabkan salah satunya over kuota 2019 sampai 1,6 juta KL,” kata pria yang akrab disapa Ifan.
Selain itu, Ifan mengatakan, banyak kereta api barang yang menggunakan BBM bersubsidi. Padahal, kereta tersebut mengangkut barang untuk kebutuhan ekspor dari perusahaan asing.
”Kami mendapatkan ini ternyata kereta api mengangkut barang untuk ekspor, baik itu batu bara maupun perusahaan asing yang mengangkut kertas. Adil nggak kira-kira pakai BBM subsidi? Padahal tujuan BBM subsidi untuk orang yang tidak mampu, tapi ini ada dalam Perpres,” sebutnya.
Adapun usulan perubahan konsumen pengguna yang tercantum dalam lampiran Peraturan Presiden Nomor 191 tahun 2014 di antaranya untuk transportasi darat, yakni:
1. Semula kendaraan perseorangan dijalan untuk angkutan orang atau barang dengan tanda nomer kendaraan berwarna dasar hitam dengan tulisan putih diusulkan menjadi kendaraan bermotor dijalan sebagai angkutan orang.
2. Semula kendaraan bermotor umum di jalan untuk angkutan orang atau barang dengan tanda nomor kendaraan berwarna dasar kuning dengan tulisan hitam, kecuali mobil barang untuk pengangkutan hasil kegiatan perkebunan dan pertambangan dengan jumlah roda lebih dari 6 (enam) buah diusulkan menjadi kendaraan bermotor dijalan untuk angkutan barang dengan jumlah roda maksimal 4 (empat) buah.
3. Semula sarana transportasi darat berupa kereta api umum penumpang dan barang berdasarkan kuota yang ditetapkan oleh Badan Pengatur diusulkan menjadi Sarana transportasi darat berupa kereta api umum penumpang berdasarkan kuota yang ditetapkan oleh Badan Pengatur.
Usulan tersebut telah disampaikan kepada Menteri ESDM sejak 28 Mei 2019 dan diusulkan kembali pada 6 November 2019. Saat ini proses revisi Perpres 191 tahun 2014 sedang dalam tahap pembahasan di Menko Perekonomian. Revisi aturan mengenai konsumen yang layak menggunakan BBM bersubsidi ini sebagai langkah preventif menekan potensi over kuota.
Selain itu, menurut Ifan, cara efektif yang paling ampuh untuk mengatasi penyimpangan BBM subsidi adalah dengan menggunakan IT atau digitalisasi nozzle. Hal ini sangat diperlukan guna menekan masalah over kuota BBM bersubsidi. Pasalnya, digitalisasi nozzle bisa membuat penyaluran BBM bersubsidi lebih tepat sasaran.
Penggunaan pencatatan elektronik dalam penyediaan dan pendistribusian BBM ini telah diatur dalam Peraturan BPH Migas Nomor 06 Tahun 2013 tentang Penggunaan Teknologi Informasi dalam Penyaluran Bahan Bakar Minyak. Penyiapan teknologi terpadu ini juga tertuang dalam Surat Keputusan Kepala BPH Migas No. 38/P3JBT/BPH Migas/Kom/2017 tanggal 19 Desember 2017 tentang Penugasan Badan Usaha untuk melaksanakan penyediaan dan Pendistribusian JBT Tahun 2018 sampai dengan tahun 2022 kepada PT Pertamina (Persero).
Melalui Surat Menteri ESDM No. 2548/10/MEM.S/2018 tanggal 22 Maret 2018, Menteri ESDM meminta Menteri BUMN agar mengintruksikan kepada PT. Pertamina (Persero) untuk segera melaksanakan pencatatan penjualan JBT sesuai ketentuan Perpres Nomor 191 melalui pencatatan elektronik/digitalisasi nozzle.
“Menteri ESDM, dirut Pertamina, Dirut Telkom, sudah komit Juni 2020 IT nozzle yang mencatat cctv, mencatat nomor polisi itu sudah berjalan, jadi tunggu,” ujar Ifan.