REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PT Krakatau Steel mendorong dukungan kebijakan regulasi terkait impor baja. Direktur Utama Krakatau Steel Silmy Karim mengatakan regulasi merupakan hal terpenting lainnya untuk mendukung pertumbuhan industri baja yang sehat.
"Impor baja saat ini sudah menghantam industri baja nasional dari hulu hingga hilir," ujar Silmy saat public expose Krakatau Steel di Kantor Kementerian BUMN, Jakarta, Selasa (28/1).
Kata Silmy, apabila kondisi ini diteruskan, Indonesia hanya akan menjadi konsumen pengguna baja dari luar negeri saja dan akan semakin menekan defisit neraca perdagangan. Silmy menerangkan, volume impor baja pada 2018 mencapai angka 6,3 juta ton atau naik sebesar 6,7 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Selain itu, lanjut Silmy, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2018, besi dan baja tercatat menjadi komoditas impor terbesar ketiga yaitu sebesar 6,45 persen dari total importasi dengan nilai 10,25 miliar dolar AS dan telah mengakibatkan defisitnya neraca perdagangan Indonesia.
Silmy mengatakan sampai September 2019, importasi besi dan baja telah mencapai lima juta ton dan diestimasi akan mengalami kenaikan sampai 6,7 juta ton sampai akhir 2019 atau meningkat 7,5 persen dari total impor pada 2018 yang sebesar 6,3 juta ton.
"Bahkan hingga September 2019, besi dan baja masih menempati posisi tiga besar komoditi impor yang masuk ke Indonesia dengan nilai 7,63 miliar dolar AS," kata Silmy.
Silmy menegaskan industri baja yang sehat merupakan satu indikator dari kompetitifnya industri di sebuah negara. Silmy mengambil contoh negara-negara maju seperti Jerman, AS, Jepang, Cina, hingga Korea Selatan, yang memiliki industri baja yang unggul.
"Kita perlu melakukan upaya dalam membuat industri baja itu sehat dan untuk sehat perlu adanya level playing field yang fair," ucap Silmy.
Silmy menilai banyak pelaku impor di Indonesia yang memanfaatkan celah dengan menghindari biaya anti dumping dan mendapat dukungan dari salah satu negara dengan melakukan tax rebate sehingga mampu memberikan harga yang sangat rendah. Kondisi ini amat memukul Krakatau Steel.
Padahal, Krakatau Steel memiliki perusahaan patungan PT Krakatau Steel (Persero) Tbk (KS) joint venture dengan Pohang Iron & Steel Company (Posco), Krakatau Posco, yang dia klaim sebagai perusahaan baja paling efisien di dunia, namun tetap tidak berdaya menghadapi praktik tersebut.
"Kenapa kalah dan impor masih tinggi karena masih ada pelaku yang menghindari hindari dan menikmati subsidi lewat tax rebate dari negara tertentu. Ini yang perlu dijaga, bukan hanya industri sehat tapi juga investasinya," ungkap Silmy.
Silmy menyampaikan telah memberikan masukan terkait kondisi ini kepada Menteri BUMN Erick Thohir agar mengambil langkah yang mampu membuat industri baja bisa sehat.
"Kami memberikan masukan kepada kementerian terkait agar pasar dan
industri baja di Indonesia bisa lebih sehat. Industri baja dalam negeri sangat tertekan dengan kondisi impor baja di sepanjang 2018-2019," lanjut Silmy.
Kata Silmy, Krakatau Steel memerlukan kebijakan dan pengawasan yang ketat dalam halimpor baja. Ia menyebut terjadi penurunan utilisasi industri baja hingga 43 persen pada 2019.
Tak hanya kepada Kementerian BUMN, Silmy juga melaporkan kondisi ini kepada BKPM, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Koordinator bidang Perekonomian. "Pak presiden ada perhatian cukup tinggi dengan industri baja. Ini momen tepat sekali dengan kabinet dan semangat baru yang memberikan kebaikan bagi industri nasional," kata Silmy menambahkan.