REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Koordinator (Kemenko) Bidang Perekonomian mencatat, realisasi penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) sektor produksi sepanjang 2019 tidak memenuhi target 60 persen. Tercatat, sampai dengan 31 Desember 2019, penyaluran ke sektor produksi adalah Rp 71,87 triliun atau hanya 51,52 persen dari total penyaluran KUR sepanjang 2019, Rp 139,51 triliun.
Deputi Ekonomi Makro dan Keuangan Kemenko Perekonomian Iskandar Simorangkir mengatakan, memang tidak mudah untuk mencapai target. Sebab, sektor produksi cenderung memiliki risiko lebih tinggi dibandingkan perdagangan yang dapat turn over cepat.
Iskandar memberikan contoh sektor perkebunan yang biasanya baru menghasilkan keuntungan dalam hitungan tiga sampai empat tahun. Sedangkan, dalam kurun waktu tersebut, pihak perbankan yang membiayai tentu membutuhkan likuiditas besar.
"Kalau disuruh pilih, ya bank pasti maunya (menyakurkan) ke perdagangan," kata Iskandar ketika ditemui di kantornya, Jakarta, Selasa (21/1).
Memahami kesulitan tersebut, pemerintah menetapkan target penyaluran sektor produksi yang sama di tahun ini, yakni 60 persen dari target penyaluran Rp 190 triliun. Artinya, pemerintah berharap sekitar Rp 114 triliun dana KUR disalurkan ke sektor produksi.
Iskandar menyebutkan, setidaknya ada 25 hingga 30 persen dari total 44 pihak penyalur yang tidak memenuhi target di tahun lalu. Tapi, ia tidak menjelaskan secara detail perbankan atau koperasi mana saja yang dimaksud. Ia hanya menyebutkan, salah satunya adalah penyalur terbesar.
Sebagai tahap awal, pemerintah memberikan sanksi berupa peringatan tertulis kepada penyalur yang tidak memenuhi target. Apabila mereka masih konsisten tidak mencapai target pada tahun ini, Iskandar menjelaskan, pemerintah baru akan menetapkan sanksi lebih keras.
"Plafonnya akan kita turunkan pada 2021," ujarnya tanpa menyebutkan persentase penurunan.
Meski turun, penyaluran KUR sektor produksi sebenarnya terus meningkat sejak pemerintah memberlakukan target produksi pertama kali pada 2017. Saat itu, penyaluran ke sektor produksi mencapai 42 persen yang kemudian tumbuh menjadi 47 persen pada 2018 dan terakhir, 51,5 persen.
Sebagai jalan tengah, Iskandar menjelaskan, pemerintah mendorong perbankan terlibat dalam program One Village One Product (OVOP) dengan pola pengelolaan secara cluster. Khususnya di sektor industri pengolahan.
Dengan OVOP, Iskandar meyakini, perbankan dapat lebih menjamin kredit yang dialirkan ke masyarakat tidak terhambat. Sebab, perbankan bisa menunjuk salah satu orang dari kelompok tersebut sebagai penanggung jawab.
"Jadi, risiko bank akan berkurang. Jadi, itu salah satu solusi untuk percepatan KUR produksi," katanya.
Selain menurunkan risiko kredit macet, skema OVOP juga mempermudah kinerja perbankan karena dapat menjangkau banyak debitur dalam satu waktu. Dalam waktu dekat ini, Iskandar menambahkan, pemerintah akan meluncurkan beberapa cluster. Di antaranya di Yogyakarta dan Boyolali.
Selama ini, sebenarnya KUR sudah pernah diberikan dengan skema serupa. Tapi, menurut Iskandar, implementasinya masih terbatas pada sektor perkebunan sawit, perikanan dan peternakan.
"Sekarang, kita mau lebih masif dan menjangkau industri (manufaktur)," katanya.
Melalui implementasi OVOP, Kemenko Perekonomian melibatkan delapan kementerian/ lembaga teknis. Di antaranya Kementerian Keuangan sebagai pemilik database Sistem Informasi Kredit Program (SIKP) yang menjadi basis data UMKM penerima KUR dan Kementerian Perdagangan untuk melakukan pembinaan teknis.