REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kantor Staf Presiden (KSP) membuka peluang untuk mencabut aturan pembatasan ukuran kapal tangkap dan kapal angkut yang diizinkan beroperasi.
Selama ini, ukuran kapal tangkap ikan yang diperbolehkan berlayar maksimal 150 Gross Tonnage (GT) dan kapal angkut 200 GT. Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) mengaku sependapat dengan rencana pemerintah tersebut dengan sejumlah syarat.
"Setuju dengan catatan jangan disalahgunakan dan jangan sampai revisi itu dimanfaatkan industri besar atau cukong kelas kakap untuk mengeruk kekayaan laut kita," ujar Sekretaris Jenderal KNTI Iin Rohimin saat dihubungi Republika di Jakarta, Senin (13/1).
KNTI, kata Iin, mengusulkan adanya peningkatan kapasitas nelayan tradisional atau modernisasi nelayan, tentunya dengan dukungan pemerintah, mulai dari penyediaan kapal di atas 150 GT, pelatihan peningkatan kapasitas nelayan, penyediaan modal, hingga penyediaan pasar.
Iin menegaskan kepada pemerintah agar benar-benar mengawal kebijakan baru tersebut apabila benar-benar direalisasikan. Iin tak ingin peraturan baru yang dikeluarkan pemerintah justru disalahgunakan pihak tertentu.
"Titik tekannya jangan berikan laut kepada pemodal karena ya g terjadi adalah perusakan dan ekploitasi laut serta tidak ada imbas untuk peningkatan kesejahteraan nelayan tradisional Indonesia," kata Iin.
KNTI, lanjut Iin, memiliki harapan besar agar laut Natuna dapat dimanfaatkan nelayan Indonesia karena dia menyebut nelayan adalah penjaga kedaulatan NKRI di lautan. Untuk memanfaatlan perairan Natuna, kata Iin, memang membutuhkan kesiapan kapal dan alat tangkap yang representatif seperti ukuran (GT) kapal yang sesuai dengan kondisi perairan.