REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Bank Dunia memproyeksi ekonomi Indonesia pada 2020 tumbuh 5,1 persen. Angka ini di bawah prediksi pemerintah dalam Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020, yaitu 5,3 persen.
Tapi, proyeksi Bank Dunia untuk ekonomi Indonesia pada tahun ini membaik dibandingkan outlook tahun lalu, 5,0 persen. Perbaikan ini dikarenakan ekonomi Indonesia tidak terlalu bergantung kinerja ekspor yang diperkirakan masih melambat.
"Tren ini juga mencerminkan dukungan berkelanjutan dari konsumsi swasta, peningkatan investasi, pertumbuhan populasi usia kerja, dan meningkatkan pasar tenaga kerja," tulis laporan Bank Dunia yang dirilis Kamis (9/1).
Secara umum, Bank Dunia mengatakan, Wilayah Asia Timur dan Pasifik akan mengalami kondisi domestik yang mendingin secara berkelanjutan. Penyebabnya, hambatan eksternal yang cukup besar, termasuk pelemahan permintaan global dan peningkatan ketidakpastian kebijakan perdagangan terkait sengketa perdagangan antara Cina dengan Amerika Serikat (AS).
Pertumbuhan di wilayah ini diproyeksikan 5,7 persen pada 2020. Nilai itu turun 0,1 poin persentase dari prediksi Bank Dunia pada Juni lalu maupun outlook terakhir untuk ekonomi 2019.
Perkembangan ini mencerminkan hambatan domestik dan eksternal yang berkelanjutan, termasuk dampak dari ketegangan perdagangan yang masih terasa terlepas dari perjanjian fase pertama antara Cina dengan Amerika Serikat.
Selain itu, ketegangan perdagangan antara Jepang dan Republik Korea juga membebani manufaktur dan perdagangan regional.
Di Cina sendiri, pertumbuhan semakin melambat di tengah kondisi pembiayaan yang lebih ketat untuk segmen nonperbankan dan ketidakpastian kebijakan perdagangan untuk sebagian besar tahun 2019.
Di daerah lain, beberapa importir komoditas telah mengalami siklus moderasi kegiatan. Misalnya, Kamboja, Filipina, dan Thailand.
Sementara itu, pertumbuhan regional tidak termasuk Cina diproyeksikan akan pulih sedikit ke 4,9 persen dari 4,8 persen pada tahun lalu. Penyebabnya, inflasi yang rendah dan aliran modal yang kuat di beberapa negara, termasuk Kamboja, Filipina, Thailand, dan Vietnam. Selain itu, proyek infrastruktur publik besar berjalan di Filipina dan Thailand.
Pertumbuhan regional juga mendapat dukungan dari kebijakan perdagangan global yang membaik dari sisi ketidakpastian dan pemulihan perdagangan global, meskipun masih lemah.
Tapi, Bank Dunia tetap memberikan beberapa catatan downside risk termasuk perlambatan tajam dalam perdagangan global karena eskalasi ketegangan perdagangan. Selain itu, pembalikan arus modal secara tiba-tiba, sentimen investor, atau hubungan geopolitik.
"Kawasan ini (Asia Timur dan Pasifik) tetap rentan terhadap risiko yang terkait dengan perubahan mendadak dalam kondisi keuangan global," tulis Bank Dunia.