REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Praktik menggoreng saham dalam perdagangan Bursa Efek Indonesia (BEI) jadi sorotan setelah Presiden Jokowi menyinggung hal ini. Saham gorengan memang menggiurkan karena dapat menghasilkan keuntungan besar bagi pelaku, namun analis menegaskan bahwa perdagangan ini bisa sangat merugikan.
Lalu apa itu saham gorengan dan bagaimana cara bertransaksi yang aman agar menghindari saham ini?
Istilah saham gorengan berasal dari gorengan yang menjadi cemilan favorit banyak orang. Gorengan diketahui bukan makanan yang sehat karena banyak yang digoreng menggunakan minyak jelantah. Kendati begitu, gorengan akan semakin enak dan renyah jika semakin sering digoreng.
Begitu juga saham gorengan. Saham jenis itu termasuk perdagangan saham yang tidak sehat dan dapat merugikan investor khususnya investor baru.
Analis Bina Artha Sekuritas M Nafan Aji menjelaskan, saham gorengan adalah ketika pergerakan suatu saham perusahaan berada di luar kebiasaan atau mengalami kenaikan signifikan tetapi tidak menggambarkan kinerja fundamental yang positif. Ini indikasi adanya permainan dari pelaku pasar demi kepentingan tertentu.
"Tiba-tiba terjadi likuiditas yang begitu tinggi, sehingga membuat pergerakan harga saham relatif mengalami kenaikan signifikan, dan didorong oleh volume yang sangat kuat. Itu akan dipantau oleh bursa efek sebagai kategori UMA," jelas Nafan kepada Republika.co.id, Ahad (5/1).
Pergerakan saham gorengan akan dicatat oleh Bursa Efek Indonesia (BEI) dalam Unusual Market Activity (UMA). UMA adalah aktivitas perdagangan dan / atau pergerakan harga yang tidak biasa pada periode waktu tertentu yang, menurut penilaian BEI berpotensi mengganggu penyelenggaraan perdagangan saham yang teratur, wajar dan efisien.
Berbeda dengan aturan Auto Rejection Atas (ARA) dan Auto Rejection Bawah (ARB), bursa efek tak mengungkapkan berapa besar persentase pergerakan harga suatu saham hingga dapat dinyatakan UMA. Dengan kata lain, saham mana saja bisa dinyatakan UMA apabila pihak bursa mengendus adanya indikasi abnormalitas dalam perdagangan sahamnya.
Menurut Nafan, umumnya saham yang digoreng adalah emiten yang memiliki kapitalisasi pasar kecil. Saham seperti ini akan mudah dikendalikan atau digoreng agar saham tersebut mengalami lonjakan signifikan. Berbeda dengan saham kapitalisasi besar atau blue chip, yang minim sekali digoreng.
Kendati sebenarnya bukan perdagangan yang wajar, Nafan mengungkap masih banyak trader yang berani mengambil risiko tinggi dengan membeli saham gorengan. Namun ia tidak menganjurkan investor untuk berinvestasi di saham seperti ini.
"Saran saya cermati saham-saham atau emiten yang memiliki fundamental positif dan memiliki prospek positif pula ke depannya, seperti saham blue chip," kata Nafan.