Kamis 02 Jan 2020 06:35 WIB

Pengembangan Pangan Lokal Kalah Saing dengan Gandum

Pangan lokal masih dikemas dan dipasarkan dengan cara tradisional.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Friska Yolanda
Roti gandum
Foto: AP
Roti gandum

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tren konsumsi beras sebagai bahan pangan pokok penduduk Indonesia menunjukkan penurunan. Namun, nyatanya peralihan konsumsi beras itu bukan mengarah pada diversifikasi komoditas pangan lokal di setiap daerah. Peralihan konsumsi pangan cenderung beralih ke makanan berbahan baku gandum yang notabene diimpor oleh industri.

Kementerian Pertanian (Kementan) menyatakan, kalah saingnya pangan lokal dengan makanan berbasis gandum akibat adanya ketimpangan research and development (R&D) antaran pengolahan pangan lokal dan gandum. Hal itu membuat aneka produk berbasis gandum jauh lebih populer ketimbang pangan lokal itu sendiri.

"Kegiatan R&D untuk makanan-makanan yang berbahan gandum itu lebih maju. Dari mulai soal bentuk makanan, rasa, hingga proses penyiapan yang kian mudah. Makanya, pangan lokal harus kita arahkan juga seperti itu," kata Kepala Pusat Distribusi dan Cadangan Pangan, Badan Ketahanan Pangan Kementan, Risfaheri kepada Republika.co.id, Rabu (1/1).

Ia mencontohkan, singkong yang merupakan sumber karbohidrat pangan lokal hingga saat ini belum dikemas secara baik seperti halnya gandum. Penjualan singkong dan kentang di pasar juga masih sangat tradisional. Tidak seperti gandum yang sudah dikemas dalam berbagai olahan siap pakai.

Di sisi lain, promosi makanan berbahan gandum juga lebih gencar ketimbang pangan lokal. Hal itu, kata Risfaheri, berkaitan erat dengan edukasi masyarakat untuk mengkonsumsi pangan lokal berbasis kewilayahan.

Alhasil, konsumsi gandum di Indonesia terus menunjukkan peningkatan. Mengutip Statistik Perdagangan Luar Negeri Impor dari Badan Pusat Statistik (BPS), impor biji gandum dan meslin kurun waktu Januari-Oktober 2019 mencapai 9,16 juta ton senilai 2,10 miliar dolar AS.

Volume impor tersebut naik signifikan dari periode yang sama tahun lalu sebesar 8,34 juta ton dengan nilai impor mencapai 2,43 miliar dolar AS.

Sementara itu, konsumsi beras masyarakat Indonesia tahun 2019 diperkirakan sebesar 111,58 kilogram (kg) per kapita per tahun. Turun dari sebelumnya sebesar 114,6 kg per kapita per tahun. Penurunan konsumsi itu disebut karena adanya peralihan ke komoditas lain, termasuk makanan berbasis gandum yang terus berkembang di Indonesia.

Risfaheri mengatakan, BKP Kementan memilih kebijakan untuk mengerjakan semuanya secara simultan. Dengan kata lain, produksi beras dalam negeri tetap akan terus ditingkatkan sembari memacu produksi pangan lokal lain. Seperti misalnya jagung, sagu, hingga umbi-umbian yang dahulu dikonsumsi masyarakat Indonesia sebagai makanan pokok selain beras.

Kementan, lanjut Risfaheri harus melakukan upaya peningkatan produksi agar ketersediaan bahan baku dalam negeri mencukupi sehingga harga dapat efisien. Sebab, tanpa ada peningkatan produktivitas, harga komoditas akan tinggi dan membuat industri enggan melakukan pengolahan ataupun riset dan pengembangam olahan makanan lokal.

"Misal, tepung singkong kalau lebih murah dari tepung terigu pasti akan disubstitusi. Misal untuk bikin roti dan mie instan. Tapi, kalau produktivitas rendah, pasti cost jadi mahal. Pelaku usaha pun tidak mau," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement