REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sedang melakukan negosiasi kembali perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) dengan sejumlah negara. Tujuan utamanya, mengamankan kepentingan Indonesia, terutama dari sisi hak pemajakan di tengah arus digitalisasi.
Kepala Bidang Kebijakan Pajak Internasional Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Pande Putu Oka Kusumawardhani menuturkan, beberapa negara yang dimaksud adalah Singapura dan Jepang. Tapi, ia masih belum dapat menjelaskan poin mana saja yang akan diubah.
"Hasil revisi nantinya tergantung pada kesepakatan dua negara," ujarnya ketika ditemui dalam diskusi di Jakarta, Kamis (5/12).
Dalam negosiasi ulang, Oka menjelaskan, poin yang ditekankan adalah perjanjian ini dapat mengikuti standar nasional terkini. Sebab, banyak dari P3B yang dimiliki Indonesia sudah berusia tua.
Dari catatan Kemenkeu, Indonesia kini memiliki 69 jaringan P3B yang efektif. Selain Belanda, ada juga Australia, Korea Utara, Pakistan hingga Prancis dan Jerman. Menurut Oka, sebagian besar di antaranya sudah berusia lebih dari dua dekade.
Bahkan, P3B Indonesia dengan Belanda telah berumur lebih dari 45 tahun. Dengan kondisi ini, Oka menilai, memang dibutuhkan kajian kembali apakah P3B yang dimiliki Indonesia masih efektif dan efisien, sesuai dengan tujuan awal.
Secara umum, Oka menjelaskan, tujuan pembentukan P3B adalah meningkatkan hubungan ekonomi kedua negara. Caranya banyak, seperti dengan menghindari pajak berganda. "P3B juga memberikan kepastian bagi wajib pajak, dalam hal bagaimana ketentuan perpajakan diberlakukan kepada mereka," katanya.
Di sisi lain, P3B juga menjadi payung untuk menerapkan kerjasama antar otoritas perpajakan dua negara. Konteksnya, untuk bertukar informasi terkait dengan wajib pajak yang sudah dituliskan dalam klausul P3B.
Salah satu klausul yang dinegosiasikan adalah pertukaran informasi. Oka mengatakan, sejak lama, Indonesia sebenarnya telah memasukkan poin tersebut dalam P3B dengan sejumlah negara. Hanya saja, klausulnya bersifat outdated, sehingga tidak mendukung terjadinya pertukaran informasi dengan standar saat ini.
Oka memberikan contoh, dulu, P3B tidak memberikan ruang untuk dua negara saling bertukar informasi karena ada keterbatasan rahasia data. Sedangkan, di era keterbukaan saat ini, pertukaran menjadi sebuah kebutuhan.
"Tapi, konteksnya hanya untuk perpajakan dan kita pun harus menjamin kerahasiaan antara otoritas yang berwenang," tuturnya.
Oka mengakui, negosiasi ulang bukanlah proses mudah. Sebab, P3B membutuhkan kesepakatan dari otoritas perpajakan kedua negara. Artinya, ketika ada satu pihak yang tidak sepakat, maka perjanjian tersebut dinilai tidak sah.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani juga sempat menyampaikan rencana pengkajian kembali P3B dengan sejumlah negara. Terakhir, ia bertemu dengan Menteri Keuangan Singapura Heng Swee Keat untuk membahas P3B antar kedua negara.
Pengkajian juga dilakukan terhadap Free Trade Agreement (FTA) yang tengah berjalan. Langkah ini disebutkan Sri untuk menghindari dampak kerugian. "Nanti kita lihat perkembangan international taxation, juga kalau P3B kita akan lihat dari country per country," ucapnya dalam acara di Ritz Carlton Kuningan, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Sri menambahkan, implementasi P3B dan FTA menyebabkan wajib pajak mendapatkan tarif yang lebih rendah dibandingkan tarif normal. Misalnya, tarif normal yang seharusnya 20 persen menjadi lima persen.
Kondisi itu dikarenakan, beberapa WP penyalahgunaan P3B untuk menghindari pajak melalui skema treaty shopping. Treaty Shopping adalah suatu skema untuk mendapatkan fasilitas oleh subjek pajak yang sebenarnya tidak berhak untuk mendapatkan fasilitas tersebut. Contohnya, penurunan tarif pemotongan pajak (withholding taxes) yang disediakan oleh suatu P3B.